Sumatera Barat dikenal sebagai tanah
kelahiran kain tenun bermotif indah, Songket Minangkabau. Wastra tenun tradisional
khas minang ini memiliki ciri khas motif berwarna keemasan yang indah dan
terkesan mewah.
“songket” sendiri merupakaan
istilah generik yang digunakan untuk menyebut kain tenun yang dibuat dengan
teknik pakan tambahan. Jenis tenik dan coraknya pun cukup beragam dari seluruh dunia.
Diantara motif legendarias dari pandai sikek silungkang dan kubang. Seperti penenun songket pandai sikek yang tergambar pada uang kertas bernilai 5.000 Rupiah emisi 2011.
Dikutip dari buku Kain Tenun Minangkabau karya Nian S Djoemena, masyarakat Minangkabau sudah mengenakan kain berbahan katun sejak abad ke 56 Masehi. Hal tersebut didukung catatan sejarah bahwa dulunya Sumatera Barat dikenal sebagai pengasil kapas.
Ada pula kain tenun berbahan
benang sutera yang diperoleh dari pedangan Cina. Itu sangat mungkin terjadi mengingat
letak geografis wilayah ini termasuk jalur perdagangan internasional, khususnya
China. Rute tersebut lebih dikenal dengan istilah jalur sutera.
Itulah kiranya yang membuat masyarakat
di wilayah ini sudah mengenal sutera sejak abad ke 9. Budidaya ulat sutera pun
sudah dimulai sejak masa Kerajaan Sriwijaya lalu berkembang hingga ke Sulawesi
Selatan.
Sayangnya, pada tahun 1644 Belanda
mulai menguasai perdagangan rempah-rempah di pesisir barat Minangkabau. Sehingga
penanaman kapas terpaksa dihentikan dan diganti rempah-rempah. Sebagai
gantinya, Belanda mendatangkan kapas dari India yang dipatok dengan harga cukup
tinggi dan dipertukarkan secara paksa dengan rempah-rempah. Hal itu kemudian
memicu pemberontakan dan peperangan melawan tanam paksa.
Pemberlakuan tanam paksa memaksa
para pribumi menggunakan serat alternatif pengganti kapas. Seperti tanaman
perdu Rami (serat batang), kulit pohon taro yang berwarna kecoklatan dan serat
kulit pohon ipuah yang berwarna putih.
Semula, kain tenun Minangkabau dibuat dari serat kulit kayu. Benang katun mulai digunakan sebagai benang lusi setelah berakhirnya sistem tanam paksa. Sedangkan benang pakan utama dan benang pakan tambahan (benang songket) mulai menggunakan benang sutera, emas ataupun perak.
Sejak abad ke 17, pembuatan
benang benar-benar mengandalkan emas dan perak asli. Ada benang emas dan perak asli
yang dibuat menjadi pita halus lalu di dililitkan langsung pada permukaan
benang katun atau sutera. Benang inilah yang dahulunya dipakai di Minangkabau.
Ada pula benang emas atau perak berbentuk pipih dan tipis yang direkatkan pada kertas. Kemudian diiris-iris halus dan dililitkan di benang tenun. Jenis kemudian dipakai dalam pembuatan kain Songket Palembang.
Alat Tenun Songket Minangkabau
Riset menyimpulkan bahwa penenun
Minang jaman dulu menggunakan alat tenun injakan berupa kerangka kayu. Mereka
tidak mengenal alat tenun gendong atau back strap loom seperti yang
digunakan di Jawa dan wilayah Nusantara bagian timur, meliputi Nusa Tenggara
hingga Sulawesi.
Awalnya orang minang juga hanya menenun dengan anyaman polos alias plain weave. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menguasai teknik tenunan. Kain tenun tradisional pun mulai dipercantiknya dengan aneka ragam hiasan.
Seperti halnya menyulam benang
emas atau perak, menenun dengan teknik pakan tambahan hingga benang ikat lusi. Makin
tinggi tuhuk sehelai kain songket makin besar pula bentuk elemen
coraknya
1.
Tenunan songket yang benang pakan tambahan pada
setiap elemen coraknya berjumlah satu helai disebut tenunan tuhuk satu.
2.
Jika jumlah benang pakan tambahan dua helai
disebut tuhuk duo
3.
Kalau jumlah benang pakan tambahannya empat maka
namanya tuhuk ampek
4.
Begitulah seterusnya.
Artinya, kain songket dengan
corak sama tetapi ditenun dengan tuhuk lebih tinggi maka elemen
motifnya makin besar. Makin tinggi tuhuknya, hasil kain songket akan lebih
panjang dan tampak tebal karena benangnya lebih timbul.
Jenis Bahan Pewarna
Mengingat belum adanya bahan pewarna sintetis, sejak jaman kuno orang Minang henta mendapatkan warna hitam atau biru tua dari tarum. Merah marun dari batang mengkudu dan kuning dari kunyit. Tone paling dominan adalah warna kuning emas dan perak yang sejalan dengan warna adat Minangkabau.
Penggunaan kain warna-warna lain mulai terlihat pada tahun 1960-an mulai. Konon di daerah Pandaisikat ada seorang perempuan bernama Jalisah yang pertama kali membuat tenunan menggunakan satu stel warna dan corak sama untuk selendang dan sarung. Di Jawa, set busana ini dikenal dengan istilah sarimbit. Pewarna sintetis baru digunakan tahun 1970an ketika isteri gubernur Harun Zain meminta pewaraan kimia berwarna pastel agar sesuai selera pasar mode.
Sumber
Buletin Tekstil Edisi 32