Sahabat bahankain, apa yang membedakan produk fashion yang dipercaya konsumen dari froduk yang hanya sekali beli lalu dilupakan? Jawabannya: kualitas yang konsisten.
Banyak pelaku usaha menganggap quality
control hanya langkah opsional di akhir produksi. Padahal, dalam realitanya,
kontrol kualitas adalah bagian inti yang bisa menyelamatkan brand kamu dari
komplain pelanggan, retur besar-besaran, hingga kehilangan reputasi.
Di artikel kali ini, kita akan mempelajari
cara mengontrol kualitas (quality control) dalam produksi fashion secara
efektif, mulai dari inspeksi, AQL, uji laboratorium, hingga area penting yang
wajib dicek agar hasil produksi tidak mengecewakan.
Proses Kontrol Kualitas: Tidak Cukup Hanya
Melihat Sekilas
Dalam dunia konveksi, ada dua
pendekatan utama dalam pemeriksaan kualitas:
· On-line
inspection dilakukan saat produksi masih
berjalan. Ini membantu menemukan masalah lebih awal, mengurangi produk cacat,
dan mempercepat perbaikan di tempat.
· Final
inspection dilakukan setelah produksi selesai,
untuk memeriksa tampilan visual, kesesuaian ukuran, kualitas jahitan, dan semua
detail yang bisa jadi luput saat produksi.
Jika kamu produksi dalam jumlah kecil,
pemeriksaan 100% bisa dilakukan. Tapi untuk produksi massal, kita bisa gunakan
pendekatan AQL (Accepted Quality Level),
yang menentukan berapa jumlah produk cacat yang masih bisa ditoleransi dalam
satu batch.
AQL: Standar Internasional untuk Produksi
Besar
Bayangkan kamu produksi 200 kaus.
Apakah harus cek semuanya satu per satu?
Tidak selalu. Dengan AQL, kamu bisa
mengambil sampel secara acak—misalnya 5–7 pcs—lalu lihat apakah jumlah cacatnya
masih dalam batas wajar. Kalau terlalu banyak cacat, itu tanda bahwa seluruh batch bisa bermasalah dan harus dicek ulang.
Tingkat AQL bisa berbeda-beda tergantung klien dan jenis produk. Untuk ekspor,
biasanya lebih ketat dibanding pasar lokal.
Kapan Produk Perlu Diuji di Lab?
Tidak semua produk perlu uji lab. Tapi
untuk bahan tertentu, apalagi yang menyangkut keamanan kulit (seperti pakaian
anak, baju olahraga, atau seragam kerja), lab
test bisa sangat membantu. Misalnya, untuk memeriksa kandungan kimia pada
pewarna, daya tahan luntur, hingga tingkat kekuatan serat. Uji ini biasanya dilakukan
atas permintaan buyer, terutama yang dari
luar negeri.
Area yang Harus Diperiksa Saat Kontrol
Kualitas
Kontrol kualitas bukan hanya soal
“cari bolong”. Ada daftar hal penting yang wajib kamu cek sebelum mengirimkan
produk:
· Ukuran (sizing): apakah sesuai size chart?
· Warna (color):
ada bercak atau hasil celup tidak rata?
· Bahan (fabric): ada robek, bintik, atau lubang kecil?
· Jahitan (seams & stitching): rapi, kuat, dan tidak ada benang lepas?
· Penampilan (appearance): adakah noda, pinggiran belum dipotong?
· Fitting:
apakah bentuknya sama seperti sampel yang disetujui?
· Bau (smell):
adakah aroma menyengat dari bahan kimia atau pewarna?
· Keamanan (safety): pastikan tidak ada jarum atau logam
tertinggal
· Labeling dan
kemasan: ukuran label, posisi, hingga
informasi harus benar
· Pola (optional): apakah garis atau motif cocok di tiap bagian
baju?
Di Indonesia, Tantangannya Berbeda
Di pasar lokal, tantangan QC kadang
bukan hanya soal standar, tetapi juga soal mindset. Banyak produsen merasa QC
“menghambat” karena menambah waktu dalam produksi. Padahal tanpa QC, yang
tertunda justru reputasi bisnis kita.
UMKM yang ingin naik kelas wajib mulai
menerapkan quality control sederhana, meskipun hanya berupa pengecekan akhir
dan pencatatan produk cacat.
Sahabat bahankain, fashion itu bergerak
cepat. Tapi reputasi dibangun pelan-pelan, dan bisa rusak dalam sekejab hanya
dengan satu pengiriman produk cacat. Dengan sistem kontrol kualitas yang rapi,
kamu bukan hanya menjaga produkmu, tapi juga menjaga kepercayaan pelanggan. Karena
sekali pelanggan puas dengan kualitasmu, mereka bukan hanya akan beli lagi, mereka
akan merekomendasikan produk kamu ke kalangan yang lebih luas.