Kekayaan budaya dan tradisi tiap suku di Indonesia daya tarik tersendiri. Satu diantaranya yaitu kain tenun Sintang yang justru lebih terkenal di negara tetangga, Malaysia. Bahkan di berbagai penjuru dunia, seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda,
Italia dan beberapa negara Eropa.
Kain sintang adalah jenis kain tenun ikat yang dibuat oleh masyarakat suku Dayak yang bermukim di wilayah Kalimantan Barat. Tepatnya dari Desa Ensaid Panjang dan Bukit Kelam, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Mereka menciptakan corak indah untuk menghias baju, rok, cawat dan selimut.
Tak bisa dipungkiri jika tekstil memegang peranan penting dalam keseharian dan upacara adat leluhur Dayak. Dahulu, masyarakat Dayak menjadikan kain tenun sebagai benda sakral dan pakaian wajib di setiap upacara adat.
Wujud kesakralan tersebut terletak pada benang serta motif kain. Menurut kepercayaan mereka, proses tenun (persilangan antara benang lusi dan benang pakan) manggambarkan bahwa dunia terbagi menjadi dua fase kehidupan yaitu atas dan bawah.
Para pengrajin di Desa Ensaid
Panjang membuat kain sintang di Rumah Betang Ensaid Panjang. Prosesnya bisa
memakan waktu satu hingga empat bulan. Uniknya, kain Sintang yang sudah jadi
harus diupacarakan secara adat sebelum dipasarkan.
Bahan baku tenun ikat Sintang berupa serat kapas yang dipintal menjadi benang. Setelah itu, benang dibuat pola dengan proses ikat dan diwarnai. Persediaan kapas yang terbatas memaksa para penenun untuk membelinya di Kobus. Yaitu sebuah yayasan penyedia bahan baku tenun ikat seperti benang, pewarna tekstil serta turut membantu pemasaran kain Sintang.
Baca Juga: |
Adapun tahapan menenun terdiri
dari ngulayan, menyusun benang, negi (proses sebelum mengikat), mulai mengikat,
dan memberi warna menggunakan benang atau cat warna. Setidaknya ada empat macam
tenun ikat berdasarkan tingkatan dan kesulitannya, antara lain:
1.
Tenun kebat (warna cokelat dan motif putih)
2.
Sidan (warna dasar merah dan motif berwarna
putih)
3.
Songket (motif garis-garis besar dan tegas)
4.
Plin slam (warna dasar kuning dan biru pada
bagian motif)
Seperti tradisi menenun di daerah lain, proses tenun di Kabupaten Sintang juga hanya boleh dikerjakan oleh kaum wanita. Menurut pandangan mitologi warga setempat, terdapat larangan dan pantangan yaitu kaum laki-laki tidak diperbolehkan menenun.
Mitosnya, seorang pria yang menenun
akan mengalami kemandulan dan sakit di sekujur tubuhnya. Atas dasar kepercayaan
itulah, perempuan mengerjakan keseluruhan proses tenun ikat dari awal hingga akhir.
Disisi lain, wanita dikenal sangat teliti sehingga kain tenun yang dihasilkan pasti
lebih bagus dan rapi.
Agak miris sih, saat warisan budaya
bangsa justru lebih dikenal dan dicintai oleh masyarakat luar negeri. Yaps, faktanya para pengrajin
kain tenun ikat sintang memang lebih fokus pada pasar ekspor sebab kurangnya minat dan akses
ke pasar lokal. Malaysia menjadi negara yang paling banyak mengimpor kain sintang karena memang berbatasan langsung dengan pulau Kalimantan.
Cukup menyeberang perbatasan
selama 2 jam saja, mereka sudah bisa memasuki pasar di Malaysia. Sedangkan
untuk menuju pasar lokal di Pontianak, para pengrajin menghabiskan waktu kurang
lebih 6 jam lewat jalur darat. Itulah kenapa perajin kain sintang lebih tergoda
menjual produknya ke Malaysia. Alasan yang cukup masuk akal bukan?
Berkat kehalusan, kekhasan motif
dan proses pembuatan yang tetap mempertahankan cara tradisional, kain sintang masih
diminati hingga saat ini.