Dayak merupakan salah satu suku
yang mendiami wilayah Tanjung Isuy, Kutai, Samarinda, Kalimantan Timur. Seperti
etnis-etnis pedalaman lainnya, suku Dayak mempunyai ragam budaya dan adat istiadat
salah satunya yaitu ulap doyo. Hebatnya, kain tenun tradisional khas masyarakat
Dayang Benuaq ini sudah mendunia lho.
Yuk, mengenal lebih dekat tentang
kain ulap doyo!
Kain tenun ulap doyo diperkirakan
sudah ada sebelum abad ke-17. Kain ini cukup populer pada masa Kerajaan
Hindu-Buddha pertama di Indonesia, yakni Kerajaan Kutai.
Nama ulap doyo sendiri berasal dari bahasa setempat, 'ulap' yang berarti kain. Sedangkan 'doyo' merupakan nama tumbuhan yang digunakan sebagai bahan dasar kain ini yaitu Curliglia latifolia atau daun doyo. Bentuknya sangat mirip pandan, berserat kuat dan tumbuh liar di kawasan pedalaman Kalimantan, seperti di Tanjung Isuy, Jempang, serta Kutai Barat.
Sebagai realisasi bentuk ilmu
pengetahuan dan keyakinan masyarakat Dayak benuaq, kain tenun ulap doyo
dipergunakan oleh kaum pria maupun wanita dalam berbagai ritual adat. Contohnya
upacara kawangkey (kematian), pelulukng peruku (pernikahan adat), taru gantar
serta ritual pengobatan.
Tak jarang kain ini juga
dijadikan sebagai mahar saat acara lamaran atau disebut Uru Oncangkng.
Menariknya disini warna ulap doyo berwarna hitam justru dipakai untuk aktivitas
sehari-hari. Khusus saat ritual mereka memakai warna-warna yang lebih cerah.
Jika dirinci secara keseluruha,
proses pembuatan ulap doyo terbagi menjadi 20 tahap lho. Tetapi secara garis
besar, kain ulap doyo dibuat dengan langkah-langkah berikut!
·
Pemanenan daun doyo
Pembuatan ulap doyo dimulai dengan mengambil daun doyo yang
sudah setengah tua dan berukuran 1-,15 meter sebanyak 60-100 lembar. Kita hanya
boleh memetik 1-3 lembar daun tiap pohonnya. Daun tersebut direndam sampai
menyisakan seratnya saja.
·
Proses Rorot
Sebelum
digunakan untuk membuat benang tenun, daun doyo dikerik atau dirorot. Proses rorot
dilakukan di tengah aliran sungai, agar serat doyo tidak kusut dan tidak
berubah warna jadi merah atau coklat tua.
·
Pengeringan serat
Usai proses
perorotan, serat doyo dijemur dengan cara menggantung. Jika benang para proses
pengerikan bersih maka hasil pengerikan bersih. Sedangkan air kecoklatan
menghasilkan benang berwarna krem.
·
Pemintalan
Setelah kering, serat doyo dipintal dan disambung menjadi gulungan benang siap tenun. Serat tersebut dibelah menjadi 2-3 mm menggunakan pisau lalu dipelintir menjadi untaian benang hingga mencapai 100-200 meter.
Setelah itu, benang digulung membentuk bola sebesar
kepalan tangan.
·
Pewarnaan Benang
Selanjutnya benang diwarnai menggunakan bahan alami,
seperti:
1. Buah
glinggam, kayu oter, dan buah londo untuk warna merah
2. Ekstraks
kayu uwar untuk warna coklat
3. Daun
putri malu, umbi kunyit dan getah akar untuk warna hitam
4. Daun
putri malu juga menghasilkan warna hijau
5. Parutan
umbi kunyit menciptakan pewarna kuning pekat
Teknik pembuatan ulap doyo
diwariskan secara turun temurun. Uniknya, wanita Dayak Benuaq mampu menguasai
pembuatan kain ini secara spontan sejak usia belasan tahun. Mereka hanya
melihat proses tenun dari ibu atau sesepuh secara berulang, tanpa proses
latihan. Pasti akan sulit menemukan orang yang menguasai proses menenun kain
ulap doyo di luar Suku Dayak Benuaq.
Alat yang Digunakan untuk membuat
kain doyo
1.
Pengament (ikat pinggang)
2.
Apit (penggulung kain)
3.
Bliraq (penumbuk saat menenun atau
parang-parangan)
4.
Buyutn disebut juga sisir (merapikan benang
lungsin)
5.
Telokng terbuat dari bambu sebagao pembuka
banang
6.
Perasai marua berupa bambu tipis selebar 2 cm
(pemisah benang)
7.
Gigiq (pengatur benang agar tidak mudah kusut)
8.
Duat (pengait benang lusi)
9.
Daag (Memasang rangkainan benang yang akan
ditenun)
10.
Tukar (pijakan kaki untuk mengencangkan benang)
11.
Sekoci dari kayu atau Tukar te kuet sebagai
tempat benang isi
Motif kain ulap doyo terinspirasi dari flora dan fauna yang ada di tepian Sungai Mahakam atau peperangan antara manusia dengan naga. Dahulu corak kain Ulap Doyo dipergunakan sebagai simbol identitas sosial sesorang. Motif jaunt nguku hanya boleh dipakai kaum mantiq atau golongan bangsawan dan raja. Sementara motif waniq ngelukng diperuntukkan bagi kelompok marantikaq atau orang biasa.
Pembedaan strata sosial tersebut
mengindikasikan pemberlakuan sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat,
seperti pada kepercayaan Hindu.
Berikut ragam corak tenun doyo
serta makna filosofisnya:
1.
Motif naga melambangkan kecantikan
wanita
2.
Motif limar atau perahu bermakna
Kerjasama
3.
Motif timang atau harimau
sebagai simbol keperkasaan pria,
4.
Motif tangga tukar toray atau
tangga rebah bermakna melindungi usaha dan kerjasama masyarakat
Penggunaan warna juga mengandung
makna tertentu. Seperti warna hitam pada daster, sarung atau kain panjang yang
menandakan bahwa pemakainya memiliki kemampuan menolak sihir hitam (jahat). Jika
pada warna hitam tersebut terdapat garis-garis putih, maka ia dapat mengobati
segala bentuk sihir dan penyakit.
Hingga saat ini berbagai upaya
dilakukan guna mengangkat nilai dan pamor tenun ulap doyo dalam industri fashion.
Keunikan serta keindahannya manarik minat sejumlah desainer ternama untuk
mengkreasikannya jadi busana yang lebih modis dan kekinian.
Beberapa tahun lalu Billy Tjong
yang merilis koleksi busana ready to wear dari tenun doyo. Tahun 2015, perancang
busana senior, Itang Yunasz mengangkat keindahan kain tersebut koleksinya.
Tak mau kalah, disainer kondang, Ian
Adrian dan Defrico Audy juga sempat menjalin kerjasama dengan Bupati Kutai
Kartanegara untuk memodifikasi kain ulap doyo dalam bentuk fesyen di acara
Jakarta Fashion Week 2012. Puncaknya di tahun 2013, dimana kain khas Kalimantan
Timur ini dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahkan desainer ternama dari
rumah mode Dolce & Gabbana dan Biagio Belsito mendatangi Istituto
di Moda Burgo Jakarta dan memperagakan teknik drapping pada kain tenun ulap
doyo di salah satu gaun rancangannya.