Kemajuan teknologi menghadirkan dua kelompok besar kain batik yaitu batik klasik dan batik neo klasik atau batik modern. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, baik dari segi motif, warna hingga proses pembuatannya.
Ingin tau perbedaan antara batik klasik dan batik modern? Simak ulasan berikut ini ya!
Batik klasik adalah jenis batik yang diciptakan dengan motif tradisional dan langkah pembuatan pun masih berpegang teguh pada aturan serta budaya keraton. Pola yang tergambar merupakan perpaduan antara seni, adat, budaya, kepercayaan, pandangan hidup, dan kepribadian dari pembatik tersebut.
Sri Sudewi Sjamsi dari Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Kerajinan dan Batik mengungkap bahwa batik
klasik itu secara garis besar dibuat dengan ragam hias geometris dan non
geometris.
Contoh Batik Klasik Geometris yaitu:
1.
Ceplok
2.
Kawung
3.
Parang atau Lereng
4.
Nitik
Sedangkan Batik Klasik Non
Geometris contohnya:
1.
Lung-lungan
2.
Semen
3.
Pagersari
4.
Wayang
Masing-masing motif tersebut mempunyai
ciri khas dan ornamen tertentu yang terdiri dari motif utama, motif seling
serta motif isen-isen. Semua elemen pada batik klasik ini memiliki bentuk dan istilah
tersendiri. Kain batik klasik menyimpan nilai-nilai dan falsafah yang tertuang
dalam ragam hiasnya maupun keseluruhan motif.Selain itu, kain batik klasik juga
hanya boleh dipakai untuk acara-acara adat dan tetap memperhatikan tatanan dan
etika saat memakainya.
Biasanya batik klasik berasal
dari wilayah keraton atau dalam bahasa Belanda disebut Voorstenlanden. Batik
klasik memiliki sifat introvert, maksudnya kain batik klasik berasal dari suatu
kalangan tertentu dan hanya diberlakukan untuk orang dalam kelompok itu saja. Dalam
konteks ini, ‘kalangan’ bermakna ruang lingkup keraton maupun masyarakat yang
mengikuti pranatan (tatanan) yang berlaku sekitar kraton.
Berbeda dengan Batik Modern yang muncul di wilayah pesisir Pulau Jawa. Awalnya dari Pekalongan, Cirebon
kemudian menyebar ke Juwana, Lasem, Tuban, Semarang, Tegal, hingga ke Tanjung
Bumi Bangkalan. Dinamakan batik modern karena detail motifnya merupakan hasil
akuturasi budaya dari bangsa-bangsa pendatang, seperti Tiongkok, Arab, India
maupun Eropa. Sehingga baik di sisi motif ataupun cara membuatnya tidak lagi
mengikuti pola serta pakem yang berlaku di wilayah kraton.
Ragam hias pada batik modern
tidak melulu berasal dari unsur ornamen lokal, tetapi dikombinasikan dengan budaya
bangsa pendatang. Hingga saat ini, ornament-ornamen Tiongkok, India dan Eropa
adalah yang paling dominan.
Sifat Batik Modern berlawanan dengan batik klasik. Kain batik klasik bersifat introvert sementara batik modern sifatnya lebih Extrovert, yaitu terbuka dengan pengaruh-pengaruh luar. Seiring perkembangan kain batik, muncullah beragam jenis batik modern. Ada batik Belanda yang dibuat oleh pengusaha batik keturunan Belanda, ada pula batik Encim yang dikembangkan para pembatik berdarah Tionghoa.
Batik Jawa Hokokai yaitu kain batik yang
berkembang dan mendapat pengaruh selera budaya orang Jepang. Usai periode tersebut,
lahirlah Batik Indonesia Baru yang dipelopori Go Tik Swan Panembahan
Harjonagoro, Ibu Sud dan Iwan Tirta.
Meski batik
klasik dibuat mempunyai motif tradisional dan pembuatannya harus berdasarkan
pakem yang berlaku, bukan berarti batik ini tak bisa berkembang lagi. Justru
generasi penerus bangsa seharusnya lebih kreatif memodifikasi batik klasik menjadi
batik Neo Klasik.
Lalu, apa bedanya batik Klasik
dengan Neo Klasik? Simak pembahasannya berikut ini!
Sebuah batik tergolong klasik
jika mempunyai kelompok motif dan ragam Hias tertentu. Untuk menciptakan batik Neo
klasik, proses pembuatannya bisa disempurnakan dengan menerapkan teknik
membatik yang lebih modern dan efektif. Atau dengan pemakaian material-material
yang lebih modern baik bahan kain maupun bahan pewarna.
Dari segi motif ornamen-ornamen
klasik dapat dikombinasikan dengan beberapa ornamen baru dan warna yang
bervariasi. Apabila batik klasik dominan pada warna coklat soga, hitam, biru
tua dan putih, maka warna batik Neo Klasik bisa lebih bebas.
Batik-batik klasik karya Go Tik
Swan sangat mempesona karena gambaran motifnya sangat rapi. Kain batik Go Tik
Swan seolah menjadi penyempurna karya para pendahulunya dengan komposisi warna
yang fantastis. Tak heran jika karya-karya neo klasik dari Go Tik Swan yang awalnya
bergelar Kanjeng Raden Tumenggung pun akhirnya diubah menjadi Kanjeng Raden
Penembahan Harjonagoro ini dikenal sebagai batik 3 dimensi. Sebab komposisi
warna kain batiknya seperti membentuk ruang kedalaman.
Ciri lain dari batik modern yaitu perubahan watak penciptaannya. Pada batik tradisional rangkaian prosesnya dikerjakan secara komunal, ada yang membuat pola, mencanting malam, hingga mencelup semuanya dilakukan oleh orang berbeda. Sehingga perlu dilakukan ikatan budaya yang kuat dalam sebuah komunitas jadi kain batik tidak bisa disebut sebagai karya individu tertentu.
Tanda tangan Eliza van Zuylen (E Van Zuylen)
Pada tahun 1880, Cristina Van Zuylen merombak tradisi batik yang sebelumnya dikenal sebagai karya anonim alias tanpa identitas pembuatnya dan bersifat massal (public domain), menjadi karya ekslusif sehingga satu desain hanya untuk satu pembeli. Dalam bahasa Jawa batik tersebut dikenal sebagai karya “yasan” atau hanya dibuat untuk si pemesan saja.
Perkembangan batik sebagai karya individual ditandai adanya klaim atas desain yang semakin ekspilist dengan membubuhkan nama diri dari perajin atau seniman pada kain batik. Identitas nama pembuatnya Cristina van Zuylen, dituliskan di sudut bagian dalam berbentuk tanda tangan yang berbunyi “T. Van Zuylen” (kependekan dari Tina van Zuylen). Saudaranya Eliza van Zuylen berbunyi “E van Zuylen” atau “Mevr E van Zuylen – Pekalongan” “Batikkerij” (batik workshop).
Tanda tangan Oey Soe Tjoen.
Sejak periode tersebut, muncul
kebiasaan mencantumkan identitas atau tanda tangan di setiap karya batik
pesisiran yang dibuat oleh pengusaha keturunan Indo-Eropa dan keturunan
Tionghoa.