Di tengah tingginya curah hujan
di Indonesia, ternyata beberapa negara di dunia justru mengalami krisis air
bersih. Bahkan sejumlah wilayah menderita kekeringan ekstrim akibat rendahnya
curah hujan di daerah mereka.
Berdasarkan laporan BBC News
Indonesia, pada tahun 2019 tak kurang dari 1,7 miliar orang di 17 negara
terancam kekeringan akibat tekanan pasokan air yang melampaui batas. World
Resources Institute (WRI) menyatakan bahwa setidaknya 400 wilayah di dunia
hidup dalam kondisi kekurangan air ekstrem.
Rendahnya curah hujan kian
memperparah kondisi tersebut sehingga menyebabkan krisis pasokan
air. Perkembangan industri, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, penipisan
sumber daya air dan penggundulan hutan adalah beberapa faktor yang menyebabkan
permasalah krisis air.
Dua pria membawa sisa air dari
sebuah kolam kecil yang mengering di pinggiran Chennai, India. (Laporan
BBC News Indonesia)
Para peneliti berusaha mengatasi krisis
air dengan mengembangkan berbagai metode untuk menemukan sumber daya air yang
layak secara ekonomi. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah,
desalinasi menjadi satu-satunya sumber air bersih.
Desalinasi adalah proses menghilangkan
kandungan garam berlebih pada air agar air tersebut bisa dikonsumsi makhluk hidup,
termasuk manusia. Selain air bersih, teknik ini juga menghasilkan produk
sampingan berupa garam meja. Sayangnya, biaya operasional dan konsumsi
energi penerapan metode desalinasi sangat tinggi.
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa atmosfer mengandung 37,5 juta galon air dalam fase uap tak terlihat yang berbentuk kabut. Kabut menjadi sumber air tawar substansial, sehingga memanen air kabut dengan efisiensi tinggi berpeluang mengurangi ancaman kekurangan air. Pemanenan air dari kabut menjadi opsi terbaik di daerah yang kerap berkabut tapi minim sumber air dan distribusi sumber air karena alasan geografis.
Metode penangkapan kabut secara konvensional dapat dilakukan dengan menyebarkan bahan tekstil berupa jaring berkerapatan tertentu. Air dari kabut akan ditangkap oleh permukaan jaring yang terbentang. Selanjutnya, partikel embun akan berkumpul menjadi gumpalan air lalu menetes karena beratnya sendiri hingga akhirnya terkumpul dalam wadah.
Ethiopia adalah salah satu daerah yang berhasil menerapkan cara ini dengan membangun menara Warka dan dapat menghasilkan air minum sebanyak 25 galon air/hari/satu menara. Jala nilon atau polipropilen digunakan sebagai bahan jaring untuk menangkap kabut di menara.
Biomimikri
Penangkapan air dari kabut pada dasarnya diperoleh melalui pendekatan biomimikri (meniru alam), yaitu teknologi yang diadopsi manusia berdasarkan bagaimana tumbuhan dan hewan dapat memperoleh air dari udara. Beberapa hewan seperti laba-laba telah memberikan contoh kemampuan menangkap air dari udara menggunakan jaringnya.
Selain sarang laba-laba, fenomena penangkapan air dari udara juga dilakukan oleh beberapa hewan dan tumbuhan lain seperti serangga gurun, rerumputan gurun, dan kaktus gurun. Ketiga contoh hewan dan tumbuhan tersebut memiliki kemampuan bertahan hidup di iklim ekstrim dengan memperoleh air dari udara.
Serangga gurun, memperoleh kemampuan untuk menangkap air dari udara dengan sifat hidrofilik-hidrofobik pada tubuh cangkangnya. Selain itu, kaktus memperoleh kemampuan untuk menangkap air melalui struktur duri pada permukaan batangnya, sehingga air dapat tertahan pada duri dan mengalir secara kapiler pada batang tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan air di atmosfer dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi kehidupan.
Kemungkinan Mengoptimalkan
Kemampuan Air dari Udara
Meskipun teknologi ini memiliki
kinerja yang cukup baik, namun ruang inovasi bahan tekstil masih sangat terbuka
terutama dalam pengembangan kain mesh dengan karakteristik optimal dalam
pemanenan embun.
Beberapa pendekatan telah
dilakukan peneliti untuk mengoptimalkan aspek fungsi pemanenan bahan tekstil,
antara lain:
Modifikasi struktur kain
penangkap air dari udara
Institut Teknologi Tekstil dan
Rekayasa Proses (DITF) Denkendorf dan Universitas Tübingen telah berkolaborasi
untuk mengembangkan tekstil penangkap air di udara menggunakan pendekatan model
struktur kain Spacer.
Agar berfungsi optimal, kain yang
menyerap air dari udara harus memiliki sifat tahan sobek, bernapas, dan dapat
membersihkan sendiri, selain memiliki porositas yang baik.
Peneliti menemukan bahwa struktur
kain rajut spacer yang mereka produksi dengan konstruksi khusus mampu
menghasilkan resapan air hingga 8 liter per hari untuk setiap satu meter
persegi kain (sekitar 80% kandungan air aerosol di udara) dibandingkan dengan
kain konvensional. kain mesh dengan hasil sekitar 3 liter per hari untuk setiap
meter.
Kain pengatur jarak ini memberikan sifat penyerapan dan desorpsi yang lebih baik karena memiliki permeabilitas udara yang lebih besar daripada kain jaring biasa. Kain ini juga memiliki keunggulan dalam hal kekuatan tarik kain dan ketahanan sobek yang lebih baik, sehingga lebih awet saat digunakan dalam operasi penangkapan embun.
Modifikasi/Pelapisan Permukaan
Menggunakan Material Tertentu
Dengan menggunakan pendekatan biomimikri, para peneliti selanjutnya mengembangkan kemampuan untuk menangkap air dari udara, terinspirasi dari cara kerja serangga gurun, rerumputan gurun, dan kaktus gurun dalam menangkap air dari udara.Para peneliti menemukan bahwa konfigurasi sifat pembasahan hidrofilik dan hidrofobik dalam susunan seperti itu memberi spesies kemampuan menangkap air yang sangat baik.
Peneliti kemudian mereplikasi konfigurasi sifat pembasahan ke selembar kain polikarbonat (PC) yang dilapisi dengan nanopartikel resin silikon SiO2-fenil metil (super hidrofobik). Konfigurasi sifat pembasahan heterogen dengan campuran sifat hidrofilik dan hidrofobik untuk kain penangkap kabut
Hasil penelitian ini menemukan
bahwa kain yang telah dilapisi menggunakan konfigurasi sifat pembasahan
heterogen (paduan hidrofilik dan hidrofobik) dapat menangkap air dari udara
jauh lebih baik daripada kain dengan sifat pembasah homogen.
Dengan optimalisasi yang terus
dikembangkan oleh para peneliti, teknologi ini diharapkan menjadi salah satu
solusi inovatif untuk mengatasi krisis air yang dihadapi umat manusia.