Pewarna alami merupakan
alternatif pewarna yang tidak beracun, dapat diperbaharui (renewable),
mudah terdegradasi dan tentu sangat ramah lingkungan. Zat warna termasuk dalam kategori pewarna alami diperoleh dari tanaman dan mikroorganisme.
Warna yang dihasilkan pun cukup beragam
seperti merah, oranye, kuning, biru dan coklat. Sedangkan kelompok peenting senyawa
kimia pewarna berupa karotenoid, flavonoid, tetrapirroles dan xantofil.
Pada 3500 SM (sebelum masehi) manusia telah memakai zat pewarna alami yang diekstrak dari sayuran, buah-buahan, bunga, dan serangga. Hal itu diperkuat dengan temuan pakaian berwarna dan jejak pewarna madder (zat warna kompleks yang mengandung banyak pewarna) pada reruntuhan peradaban Mohenjodaro dan Harappa 3500 SM.
Hasil uji kimia pada mumi yang
ditemukan di makam raja Tutankhamnun, Mesir terbungkus oleh kain berwarna merah.
Ini menunjukkan bahwa merah merupakan senyawa alizarin atau sebuah pigmen yang
diekstrak dari madder (zat warna kompleks yang mengandung banyak
pewarna).
Metode pencelupan kain telah
dikenal di lembah Indus atau sekitar 2500 SM di anak benua India. Bahkan henna juga
sudah banyak digunakan di masa itu. Referensi lain, mengungkap teks Shosoin periode
Nara asal Jepang dimana pada abad ke delapan biocolorants dimanfaatkan
untuk mewarnai makanan. Catatan itu mengungkap tentang pewarnaan kacang kedelai
dan adzuki-kue kacang. Artinya pada periode itu orang-orang telah mewarnai
makanan olahan.
Sayangnya, pewarna alami memiliki
beberapa kelemahan, seperti ketidakstabilan warna, konsentrasi pigmen rendah,
spektrum warna terbatas, mudah kusam dan ketahanan yang buruk terhadap
pencucian ataupun sinar matahari.
Hingga pada tahun 1856, M. WH.
Perkin menemukan pewarna sintetis dengan beragam variasi warna, intensitas cahaya
dan bayangan. Sejak saat itu zat warna buatan ini mulai mengambil alih fungsi pewarna
alami.
Namun tetap tak bisa dipungkiri
jika pewarna sintetis bersifat racun dan memiliki efek samping untuk makhluk
hidup. Turunan mineral, seperti halnya potassium dikromat dan tembaga sulfat
dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius dan berbahaya bagi lingkungan. Melihat
efek buruk tersebut, penggunaan pewarna alami kembali diserukan di seluruh
dunia.
Dalam beberapa dekade terakhir,
warna sintetis mendapat banyak kritikan, dan konsumen bersikap enggan untuk
menerima produk dengan warna sintetis, serta lebih suka pewarna alami. Konsumen
saat ini lebih peduli terhadap lingkungan hidup, maka pewarna alami menjadi
alternatif utama sebagai pengganti dari pewarna sintetis.
Tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme merupakan sumber pewarna alami. Namun hanya sejumlah kecil yang tersedia untuk penggunaan komersial sebagai pewarna makanan dan sebagian besar berasal dari tanaman. Hampir semua bagian tumbuhan dapat menghasilkan zat warna seperti bunga, buah, daun, biji, kulit kayu, batang/kayu dan akar.
Salah satu tumbuhan laut yang
memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan pewarna alami adalah
mikroalga Spirulina platensis. Ekstraksi Spirulina
platensis menggunakan pelarut asam asetat menghasilkan ekstrak zat
warna biru yang memiliki intensitas warna tertinggi dengan absorbansi
maksimalnya 620 nm. Senyawa kimia pigmen biru gelap tersebut adalah phycocyanin.
Pigmen dapat diproduksi dari
Mikroorganisme, oleh karena itu dapat dijadikan sebagai bagian dari sumber
pewarna alami. Pigmen utama yang dihasilkan oleh mikrobia adalah merah, kuning
dan biru. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan pigmen
dengan produksi tinggi adalah spesies dari Monascus, Paecilomyces,
Serratia, Cordyceps, Streptomyces, Penicillium herquei, Penicillium atrovenetum, Rhodotorula, Sarcina, Phaffia
Cryptococcus, Monascus purpureus, Phaffia rhodozyma, Bacillus sp.,
Achromobacter, dan Yarrowia. Beberapa peneliti fokus untuk memproduksi
warna merah dan kuning, seperti monascue yang dihasilkan
dari Monascus sp., karotenoid dari Phaffia rhodozyma, Micrococcus
roseus, Brevibacterium linens dan Bradyrhizobium sp.,
serta xanthomonadindari Xanthomonas campestris pv.
Berdasarkan pemakaiannya,
digolongkan menjadi zat warna substantif ( bisa langsung digunakan) dan zat
warna reaktif (perlu bahan pembantu untuk pewarnaannya). Sedangkan berdasarkan
warna yang ditimbulkan (coloring matter), dibagi menjadi empat
golongan yaitu zat warna: mordan (alam), direk, asam/basa, dan bejana.
Sebagian besar zat pewarna alami termasuk dalam zat warna mordan alam.
Agar warna dapat terikat dengan
baik, maka pada proses pewarnaannya diperlukan bahan tambahan untuk pengikat
atau fiksator. Sebagai contoh zat warna kuning dari daun jati dan merah
dari madder memerlukan mordan dari alum yang berfungsi sebagai
bahan pengikat warna.
·
Zat warna direk melekat diserat berdasarkan
ikatan hidrogen, sehingga ketahanannya rendah seperti kurkumin dari kunyit.
·
Zat warna asam/basa memiliki gugus kombinasi
asam dan basa yang cocok diterapkan pada serat sutera atau wol.
·
Pewarna seperti flavonoid tidak menghasilkan warna
permanen pada kain katun.
·
Pewarna bejana dapat mewarnai serat berdasarkan
reaksi reduksi oksidasi (redoks). Ia dikenal sebagai zat warna paling tua
didunia dengan ketahanan paling unggul dibanding zat pewarna alami yang lain. Contoh
zat warna indigotin berasal dari daun nila (indigofera).
Sumber bulletin tekstil edisi 31