Ketika pemerintahan Trump memberlakukan serangkaian tarif, terutama pada impor dari Tiongkok, salah satu tujuannya adalah untuk mendorong produksi kembali ke Amerika Serikat dan melindungi industri domestik. Banyak yang berharap ini akan menjadi pukulan telak bagi industri fast fashion yang bergantung pada rantai pasok global yang murah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Alih-alih melambat, raksasa fast fashion justru beradaptasi, berbalik arah, dan kini membanjiri pasar global lainnya.
Resiliensi
di Tengah Badai Tarif: Sebuah Studi Kasus Adaptasi Bisnis
Industri fast fashion dikenal dengan kelincahannya yang luar
biasa. Model bisnis mereka dibangun di atas kemampuan untuk merespons tren
dengan sangat cepat dan menghadirkan produk ke pasar dalam hitungan minggu.
Resiliensi ini terbukti ketika tarif Trump diberlakukan. Daripada menyerah pada
tekanan biaya, merek-merek ini menunjukkan adaptasi strategis yang mengejutkan:
·
Diversifikasi
Rantai Pasok Global: Ini adalah strategi paling dominan yang diadopsi.
Merek-merek seperti Shein dan Temu, yang telah mendominasi pasar global dengan
harga yang sangat kompetitif, tidak menghentikan produksi. Sebaliknya, mereka
secara agresif mengalihkan basis manufaktur mereka dari Tiongkok ke
negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Kamboja, Bangladesh, dan
Filipina. Negara-negara ini menawarkan kombinasi menarik dari biaya tenaga
kerja yang lebih rendah dan, yang terpenting, tidak dikenakan tarif impor yang
sama oleh Amerika Serikat. Pergeseran ini memungkinkan mereka untuk menjaga
harga jual tetap rendah, sebuah kunci utama kesuksesan fast fashion.
·
Pemanfaatan
Celah Regulasi: Meskipun beberapa celah kini sedang ditinjau atau ditutup,
di awal pemberlakuan tarif, beberapa merek ditengarai memanfaatkan apa yang
dikenal sebagai "de minimis loophole" di Amerika Serikat. Celah ini
memungkinkan paket impor dengan nilai di bawah ambang batas tertentu (misalnya,
$800 di AS) untuk masuk tanpa bea masuk dan dengan pemeriksaan pabean yang
minimal. Dengan mengirimkan pesanan sebagai paket individual langsung ke
konsumen, mereka bisa menghindari tarif dalam jumlah besar.
·
Model
Bisnis yang Sangat Fleksibel: Tidak seperti merek fesyen
tradisional yang mungkin memiliki kontrak jangka panjang dengan pabrik
tertentu, banyak pemain fast fashion beroperasi dengan model yang sangat cair.
Mereka dapat dengan cepat mengalihkan pesanan ke pabrik yang berbeda di negara
yang berbeda, tergantung pada biaya, kapasitas, dan regulasi. Kecepatan dan
fleksibilitas ini membuat mereka kebal terhadap guncangan pasar di satu wilayah
tertentu.
Mengapa
Tarif Gagal dan Apa Konsekuensinya?
Gagalnya tarif dalam melambatkan fast fashion dapat dikaitkan
dengan beberapa faktor:
·
Globalisasi
Rantai Pasok yang Terlalu Dalam: Rantai pasok fast fashion sudah
terlampau global dan terintegrasi. Mencoba mengubahnya secara drastis melalui
tarif ternyata jauh lebih sulit daripada yang diperkirakan.
·
Permintaan
Konsumen yang Tak Terbendung: Konsumen global, terutama
generasi muda, terbiasa dengan akses mudah ke tren terbaru dengan harga murah.
Tarif tidak mengurangi permintaan ini; mereka hanya mendorong produsen untuk
menemukan cara lain untuk memenuhinya.
·
Minimnya
Infrastruktur Produksi Domestik Alternatif: Meskipun ada harapan untuk
re-shoring produksi, kapasitas dan infrastruktur untuk memproduksi pakaian
secara massal dengan biaya rendah di negara-negara seperti AS tidak lagi
memadai atau kompetitif.
Konsekuensi dari kegagalan tarif ini sangat signifikan:
·
Banjir ke
Pasar Global Lain, Termasuk Indonesia: Dengan pasar AS yang sebagian
"terjepit" oleh tarif, produk-produk fast fashion yang sangat
melimpah ini mulai membanjiri pasar negara-negara lain. Australia adalah salah
satu contoh yang sering disebut, di mana konsumen kini memiliki akses yang
lebih luas ke pakaian fast fashion yang sangat murah. Indonesia, sebagai pasar
konsumen yang besar dengan populasi yang didominasi oleh generasi muda yang
melek digital, juga tidak luput dari serbuan ini. Merek-merek fast fashion
global dengan model bisnis berbasis online dan harga yang tidak terkalahkan,
seperti Shein dan Temu, semakin mudah diakses oleh konsumen di Indonesia. Ini
menekan industri fesyen lokal yang mungkin kesulitan bersaing dalam hal harga
dan kecepatan produksi.
·
Pergeseran
Dampak Lingkungan dan Sosial: Pergeseran produksi ke
negara-negara dengan regulasi lingkungan dan tenaga kerja yang lebih longgar
berpotensi memperburuk masalah yang sudah ada. Kondisi kerja yang tidak memadai
dan praktik produksi yang tidak berkelanjutan dapat meningkat seiring dengan
volume produksi yang terus bertambah.
·
Beban
Konsumen AS: Ironisnya, dalam beberapa kasus, tarif justru meningkatkan
biaya bagi konsumen Amerika Serikat yang masih membeli produk fast fashion dari
merek-merek yang harus membayar bea masuk lebih tinggi.
Melihat ke
Depan: Tantangan dan Regulasi
Fenomena ini menyoroti kompleksitas regulasi perdagangan di
era globalisasi. Tarif, yang merupakan instrumen kebijakan abad ke-20, mungkin
tidak lagi cukup untuk menghadapi model bisnis abad ke-21 yang sangat adaptif
seperti fast fashion.
Pemerintah di seluruh dunia kini dihadapkan pada tantangan
untuk menemukan cara yang lebih efektif untuk mengatasi dampak negatif dari
fast fashion, mulai dari limbah tekstil yang masif hingga praktik
ketenagakerjaan yang tidak etis, tanpa secara tidak sengaja mendorong masalah
ini ke wilayah lain. Bagi Indonesia, ini
berarti perlunya strategi yang kuat untuk melindungi dan mempromosikan industri
tekstil dan fesyen lokal. Solusi mungkin perlu melibatkan pendekatan yang
lebih komprehensif, seperti pengetatan regulasi impor barang jadi (terutama
dari penjualan e-commerce lintas
batas), insentif untuk fesyen berkelanjutan dan produksi lokal, serta edukasi
konsumen mengenai dampak pembelian fast fashion.
Tarif Trump memang tidak berhasil menaklukkan raksasa fast
fashion. Sebaliknya, mereka memicu evolusi dalam model bisnis ini, yang kini
terus membanjiri dunia dengan kecepatan dan skala yang belum pernah terjadi
sebelumnya, memberikan dampak signifikan pada pasar dan industri di berbagai
negara, termasuk Indonesia. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana
pasar global modern merespons tekanan, dan mengapa pendekatan kebijakan yang
lebih nuansa dan adaptif mungkin diperlukan.