Kalau kamu pernah lihat orang
memakai sweater tapi bukan di badan—melainkan disampirkan di bahu dengan kedua
lengannya menjuntai di depan—mungkin kamu langsung teringat gaya klasik ala
anak kampus Eropa atau film-film tahun 80-an. Tapi pertanyaannya, di zaman
sekarang, apakah gaya itu masih relevan, atau justru terkesan kuno dan “sok”?
Ternyata, ada sejarah dan makna
tersendiri di balik cara pakai sweater yang satu ini. Yuk, kita bahas lebih
dalam!
Asal-usul Gaya Sweater di Bahu
Gaya menyampirkan sweater di bahu
pertama kali populer di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Kala itu, gaya
ini sering muncul di katalog-katalog pakaian seperti Sears, yang menampilkan citra “anak baik dari keluarga terpandang”.
Di kalangan sosial tertentu, gaya ini bahkan jadi semacam simbol status—sebuah
tanda bahwa pemakainya berasal dari kelompok elite, berpendidikan, dan punya
gaya hidup mapan.
Ketika tren ini masuk ke Prancis,
maknanya jadi sedikit berbeda. Sweater di bahu mulai dianggap sebagai lambang
“orang kaya yang angkuh”, sampai-sampai muncul stereotip bahwa orang dengan
gaya seperti ini pasti sombong atau sok berkelas. Akibatnya, banyak orang
menghindari gaya ini karena takut dicap “snob”.
Antara Gaya Klasik dan Simbol Status
Uniknya, justru karena punya stigma
seperti itu, gaya ini sekarang mulai dianggap rebel alias pemberontak. Mereka yang sadar akan citra “snob” ini
justru mengenakannya dengan sengaja, sebagai bentuk pernyataan gaya pribadi:
“Aku tahu ini dianggap kuno, tapi aku tetap suka.”
Artinya, memakai sweater di bahu
kini bisa punya makna baru—bukan lagi tentang status sosial, tapi tentang attitude dan kepercayaan diri. Sama
seperti banyak tren fashion klasik lainnya, semua tergantung cara kamu memakainya
dan konteksnya.
Faktor Praktis: Nggak Cuma Soal Gaya
Selain jadi simbol gaya, cara ini
juga punya sisi praktis. Menyampirkan sweater di bahu bisa membantu kamu
menghadapi perubahan suhu tanpa harus bolak-balik pakai-lepas sweater.
Misalnya, saat siang panas tapi sore mulai dingin, kamu tinggal turunkan saja
sweater itu tanpa perlu ribet.
Selain itu, warna dan tekstur
sweater bisa jadi pelengkap visual yang menarik. Misalnya, outfit kamu polos
berwarna netral, lalu kamu tambahkan sweater dengan warna cerah di
bahu—langsung deh tampilan jadi lebih hidup dan dinamis.
Bagaimana di Indonesia?
Kalau di luar negeri gaya ini punya
sejarah sosial yang panjang, di Indonesia konteksnya lebih fleksibel. Sweater
di bahu bisa kelihatan chic, stylish, atau bahkan artsy tergantung kombinasi
outfit-nya. Tapi, memang bisa juga terlihat “terlalu formal” kalau tidak
diimbangi dengan gaya kasual lainnya.
Kuncinya ada di pemilihan bahan dan
warna. Pilih sweater yang ringan, bertekstur lembut, dan punya warna kontras
dengan pakaian utama. Hindari pose atau simpul yang terlalu kaku supaya
kesannya tidak seperti “kostum orang kaya Eropa”, tapi lebih santai dan
natural.
Kesimpulan: Dipakai, Kenapa Nggak?
Akhirnya, memakai sweater disampir
di bahu bukan soal boleh atau nggak boleh—tapi soal rasa percaya diri. Kalau
kamu suka gaya klasik dan ingin tampil beda, kenapa tidak? Tren fashion selalu
berputar, dan kadang yang dulu dianggap “jadul” justru bisa tampil keren di era
sekarang.
Yang penting, kamu tahu konteks, tahu gaya kamu sendiri, dan yang paling penting: nyaman memakainya.
Masih Layak Nggak, Sih, Gaya Sweater Disampir di Bahu?
Apa Itu Sepatu Mocassin? Fakta, Sejarah dan Ciri Khasnya
Get The Look! 7 Inner Blazer yang Wajib Kamu Coba!
Warna Baju Bisa Mempercepat Polusi Plastik Laut — Kenapa Warna Gelap Lebih Berbahaya?
Apa Itu Daur Ulang T2T?
Cara Merawat Pakaian Berbahan Tipis Agar Tidak Cepat Rusak
AR & VR, Teknologi Imersif yang Mengubah Cara Kerja Dunia Fashion
Fashion Hallyu: Gaya Korea yang Menjadi Fenomena Dunia
Logo, Kualitas, atau Gengsi? Menguak Faktor yang Membentuk Harga Produk Bermerek
Debat Klasik: Kapas vs Kapuk! Apa Sih Bedanya?