Beberapa tahun lalu, influencer
adalah “senjata pamungkas” untuk jualan. Brand cukup membayar satu unggahan,
dan penjualan bisa meledak. Tapi sekarang? Satu postingan berbayar sering kali
hanya lewat begitu saja di feed. Konsumen menonton, mengangguk, lalu scroll.
Fenomena ini bukan sekadar
penurunan engagement. Ini adalah tanda bahwa industri sedang mengalami influencer
fatigue. Audiens mulai lelah, skeptis, bahkan kebal terhadap konten
promosi. Lalu muncul pertanyaan besar: apakah influencer masih efektif?
Influencer fatigue adalah kondisi di mana audiens jenuh melihat konten endorsement dari influencer yang terasa serupa: pose, caption, gaya promosi yang berulang.

·
Studi dari SamyRoad bahkan menemukan 47%
pengguna merasa lelah dengan postingan iklan dari influencer di Instagram.
·
Sebagian besar merasa engagement “berbayar” jadi kurang bernilai karena semakin terduga.
Di tengah lautan konten, endorse
tampak makin seragam. Pose sambil memegang produk, caption penuh klaim, atau
template video yang sama dari ratusan influencer. Pada titik ini, audiens
berhenti merasa terhubung. Konten terasa diproduksi, bukan diceritakan.
Padahal, inti dari keberhasilan
influencer adalah kedekatan dan keaslian. Pada akhirnya banyak konsumen
mulai mempertanyakan keaslian rekomendasi.
Dari mana muncul keraguan itu? Berikut berapa
faktor kuncinya:
1.
Kurangnya transparansi
Banyak influencer masih belum jelas menandai posting
berbayar. Clutch melaporkan bahwa 70% pengguna terganggu ketika influencer
tidak menyatakan bahwa konten adalah sponsor atau iklan.
2.
Konten yang terlalu glamor
Ada pendapat bahwa sejumlah influencer terlalu
menampilkan gaya hidup mewah yang jauh dari kehidupan pengikutnya. Dalam
konteks ekonomi global yang tidak stabil, gaya hidup glamor semacam itu bisa
menimbulkan jarak.
3.
Kelebihan kolaborasi berbayar
Ada survei di Asia Tenggara (Impact.com & Cube
Asia) yang menunjukkan kepercayaan terhadap influencer menurun, bahkan pada
micro dan nano influencer.
4.
Kreator yang tidak cukup “otentik”
Menurut riset dari OnePulse, 40% konsumen menyebut
influencer terasa “palsu” karena konten terlalu diedit atau terlalu
“dipentaskan” hanya untuk endorse.
Meskipun kepercayaan menurun,
bukan berarti influencer marketing mati. Influencer masih bisa menjadi motor
pemasaran yang kuat—asalkan didekati dengan strategi yang lebih manusiawi,
personal, dan jujur.
Influencer bukan lagi “papan
reklame berjalan”. Mereka adalah storyteller, teman bagi audiens, dan pintu
awal yang membangun rasa penasaran.
Ada banyak hal yang berubah dalam
strategi influencer, diantaranya yaitu:
1.
Dari besar ke kecil (micro & nano
influencer jadi bintang baru)
Audiens kini lebih percaya pada creator kecil yang
terasa dekat: pengikut 2.000–10.000, tapi engagement tinggi, komentar jujur,
dan vibe-nya seperti teman nongkrong.
2.
Dari sekali posting ke hubungan jangka
panjang
Endorse sekali lewat sudah tidak cukup. Audiens ingin
melihat konsistensi. Mereka ingin tahu apakah produk benar-benar dipakai lebih
dari satu kali.
3.
Dari promo ke cerita
Konten yang berbasis cerita jauh lebih dipercaya
daripada konten yang langsung mengajak beli.
Narasi “kenapa aku suka produk ini” lebih natural daripada “beli sekarang!”.
4.
Dari polished ke raw content
Video yang seadanya, unfiltered, bahkan agak berantakan
justru terasa lebih autentik. Audiens ingin melihat manusia, bukan iklan.
Melihat tren ini, brand harus
beradaptasi agar kampanye influencer tetap relevan dan efektif:
1. Influencer dengan nilai yang sejajar
Bukan hanya soal follower banyak, tetapi seberapa
autentik dan relevan persona influencer dengan brand kamu.
2. Prioritaskan
kolaborasi jangka panjang
Hubungan yang berkelanjutan cenderung membangun
kepercayaan lebih kuat dibanding kampanye satu kali.
3. Dorong
storytelling dan konten pengalaman nyata
Influencer yang berbagi pengalaman nyata, perjuangan,
atau cerita personal akan lebih dipercaya.
4. Gunakan
micro/nano-influencer
Mereka cenderung lebih dekat dengan pengikutnya dan
menghasilkan engagement yang lebih tulus. Laporan JuliusWorks menekankan ini
sebagai tren penting 2025.
5. Sertakan
elemen komunitas
Ajak audiens untuk berpartisipasi: misalnya melalui
kontes UGC, tantangan kreatif, review jujur dari pelanggan, dan lain-lain.
6. Pastikan
transparansi
Influencer dan brand harus jelas menandai konten
sponsor. Kejujuran dalam kerja sama membuat kepercayaan lebih kuat, dan
konsumen semakin menghargainya.
Tantangan Influencer AI dan
Etika Autentisitas
Satu risiko yang muncul di 2025
adalah AI influencer, sebuah karakter virtual yang diciptakan dengan
kecerdasan buatan. Jika tidak transparan, penggunaan AI bisa semakin merusak
kepercayaan audiens.
Artinya, brand perlu lebih berhati-hati dan etis dalam memilih kolaborasi.
Influencer fatigue bukan berarti
influencer tidak lagi berguna. Ia hanya menandai satu hal bahwa konsumen
ingin kejujuran, bukan gimmick.
Pada akhirnya, influencer
marketing tidak mati, ia hanya sedang tumbuh menjadi lebih dewasa.
Influencer Fatigue: Apakah Marketing Endorse Masih Efektif?
Jas Hujan: Fungsi, Jenis, Bahan, Plus Tips Memilih yang Tepat
Kenali 5 Jenis Strap Topi dan Tips Memilihnya
5 Item Wajib untuk Padupadan Acubi Style Ala Gen Z
Mengenal Serat Acetate, Karakteristik dan Pemanfaatannya
Kenapa Banyak Karakter Kartun Klasik Memakai Sarung Tangan Putih? Ini Makna dan Sejarahnya
Berapa OZ yang Tepat? Yuk, Pahami Variasi Ketebalan Kain Denim
Accidental Fashion, Disaat Ketidaksengajaan Mengubah Alur Cerita
Kenapa Fashion 80-an Masih Mendominasi di 2025? Nostalgia, Siklus Tren, dan Budaya Pop
Rahasia Gelap Pewarna Denim, Bahaya Anilin di Balik Birunya Indigo Konvensional