Di tengah arus minimalisme
"quiet luxury" yang sempat mendominasi panggung mode global, rumah
mode asal Prancis, Louis Vuitton, justru mengambil arah sebaliknya. Sebuah
langkah yang memadukan nostalgia masa kecil, budaya pop Asia, dan ketajaman
materialitas: mereka merilis gantungan tas (bag charm) berbentuk ikan
seharga Rp16 jutaan.
Bagi mata awam, ini mungkin tampak seperti aksesoris "gemas". Namun, bagi pengamat industri tekstil dan fashion, rilisan ini adalah pernyataan tentang kekuatan narasi yang disuntikkan ke dalam material premium.
Inspirasi utamanya adalah Taiyaki—atau
Bungeoppang di Korea Selatan—kue panggang berbentuk ikan yang menjadi
camilan ikonik di pasar-pasar tradisional Asia Timur. Namun, yang membuat item
ini menjadi perbincangan hangat di kalangan jurnalis mode bukan hanya
bentuknya, melainkan bagaimana Louis Vuitton membedah anatomi makanan tersebut
melalui medium kulit.
Dibuat langsung di Italia,
gantungan tas ini menggunakan material kulit sapi (cowhide) dengan
tekstur yang meniru remah roti panggang. Detail yang paling mengesankan
terletak pada pengerjaan bagian tepi (edge painting). Louis Vuitton
dengan sengaja menciptakan tepian yang tampak "tidak sempurna",
meniru adonan pancake yang meluap dari cetakan besi panas.
Dari perspektif material, penggunaan lapisan warna merah pada sisi dalam kulit berfungsi sebagai metafora visual untuk anko (pasta kacang merah). Ini adalah bukti bahwa kemewahan tidak selalu harus kaku; kemewahan bisa menjadi sangat cair dan jenaka ketika ditangani oleh tangan-tangan artisan yang tepat.
Munculnya produk ini juga
menandai pergeseran perilaku konsumen. Di platform media sosial seperti Xiaohongshu
(RedNote) di Tiongkok, pembahasan mengenai Taiyaki Louis Vuitton ini telah
menembus angka ratusan juta impresi. Fenomena ini bukan sekadar tentang
konsumsi barang mewah, melainkan tentang personalisasi.
Setelah dekade didominasi oleh desain tas yang seragam, konsumen kini mencari cara untuk "memanusiakan" barang mewah mereka. Tren ini, yang sering dikaitkan dengan warisan gaya Jane Birkin, mendorong rumah mode untuk memproduksi aksesoris kecil dengan detail yang tidak kalah rumit dari produk utamanya.
Harga Rp16 juta tentu memicu
perdebatan mengenai nilai intrinsik sebuah benda. Namun, dalam ekosistem barang
mewah, harga tersebut tidak hanya membayar material kulit dan jahitan tangan,
melainkan juga akses terhadap identitas budaya yang sedang populer.
Louis Vuitton berhasil membaca
momentum bahwa saat ini, pasar dunia sedang jatuh cinta pada segala hal yang
berbau nostalgia Asia. Dengan memadukan simbol budaya jalanan dan materialitas
kelas atas, mereka tidak hanya menjual gantungan tas; mereka menjual sebuah
percakapan.
Louis Vuitton Rilis Bag Charm Ikan Taiyaki Harga 16 Jutaan, Apa Istimewanya?
Raw Denim vs Washed Denim, Sama-sama Denim Tapi Kok Beda?
Apa Itu Little Black Dress? Sejarah dan Alasan Kenapa Wajib Punya
Visible Mending VS Invisible Mending, Apa Sih Bedanya?
Pantone Standar Warna Global: Pengertian, Sistem Warna, dan Perannya di Fashion
Brand Membership, Strategi Membangun Loyalitas dan Kesetiaan Pelanggan
Jeans Belel, Tren Celana Denim yang Tak Pernah Benar-Benar Usang
Sering Lihat Gambar Smiley Face Ini? Kisah Logo Ikonik Nirvana di Kaos Dunia, Dari Grunge ke Grafis Global
Mengenal This Is April, Brand Fashion-nya Perempuan Indonesia
Christmas Sweater: Dari Rajutan Hangat hingga Ikon Budaya Pop