BULETIN
TEKSTIL.COM/ JAKARTA – Tenun tradisional adalah salah satu warisan
budaya Indonesia yang kita banggakan. Hampir setiap daerah di Indonesia
memiliki tenun tradisionalnya sendiri, tersebar di seluruh 34 propinsi di
Indonesia. Tetapi tidak seperti halnya batik Indonesia yang sudah sejak tahun
2009 memiliki hari nasional khusus, tenun Indonesia belum memiliki hari
perayaan nasional khusus. Namun berkat perjuangan dan usulan dari Dr. Anna
Mariana dan berbagai organisasi pendukung yang diinisiasi sejak tanggal 24
Februari 2019, Presiden Joko Widodo telah menyetujui dan menandatangani
penetapan Hari Tenun Nasional yang akan dirayakan setiap tanggal 7 September,
yang akan dimulai pada tahun ini.
Adapun
alasan mengapa tanggal 7 September ditetapkan sebagai Hari Tenun Nasional
adalah terkait dengan didirikannya Sekolah Tenun pertama di Surabaya, Jawa
Timur, oleh dr. Soetomo pada tanggal 7 September 1929.
Sumber: buletintekstil.com
Dalam rangka menyambut perayaan Hari Tenun Nasional yang akan diadakan pertama kali inilah maka Perkumpulan Pencinta Pariwisata di Indonesia (P3I), didukung oleh organisasi-organisasi mitra dari luar negri Amerika Bersatu (AB1) dan Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ) mengadakan webinar dengan tema “Cintailah Tenun Tradisional Indonesia” dengan menghadirkan beberapa narasumber yang telah memiliki banyak andil dalam pengembangan tenun tradisional Indonesia
Narasumber pertama adalah Prof.
Dr. Anna Mariana, SH, LLM, perancang busana khusus tenun, sekaligus salah satu
pelopor dan pemrakarsa Hari Tenun Nasional. Bersama dengan Komunitas Tekstil
Tradisional Indonesia (KTTI) yang ia dirikan, juga bersama dengan Yayasan Cinta
Budaya Kain Nusantara (CBKN) dan Asosiasi Perajin Tenun Songket Indonesia
(ATSI). Pada webinar ini ia menceritakan perjuangannya, bagaimana gagasan
diadakannya Hari Tenun Nasional ini akhirnya didukung dan diresmikan oleh
Pemerintah Indonesia dengan ditandatanganinya Keputusan Presiden pada tanggal
16 Agustus 2021 yang lalu. Lebih lanjut Anna Mariana berterima kasih dan sangat
mengapresiasi dukungan Pemerintah Indonesia terutama kepada Presiden Joko
Widodo untuk mewujudkan gagasannya menjadi kenyataan. Ia berharap dengan
diresmikannya Hari Tenun Nasional maka tenun juga dapat dijadikan pakaian wajib
di hari tertentu seperti halnya batik, agar dapat mengembangkan perekonomian
para pelaku UKM/UMKM industri tenun.
Menurut beliau juga, dengan ditetapkannya Hari Tenun Nasional maka peristiwa ini menjadi hadiah untuk para pengrajin tenun Indonesia. “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya dengan karya tenun tradisional dengan keanekaragaman motif. Hak paten pun harus segera dideklarasikan. Jika tidak segera dilindungi dan dideklarasikan sebagai milik bangsa Indonesia, tidak mustahil akan ada bangsa lain yang mengakuinya.”
Design busana dan tenun oleh Harry Darsono
Narasumber kedua adalah Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Budi Arie Setiadi. Pada kesempatan ini beliau banyak membicarakan program Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan 1000 desa wisata menjadi desa kreatif untuk meningkatkan ekonomi desa dan mengentaskan kemiskinan. Wamendes Budi Arie Setiadi juga adalah Ketua Dewan Pembina dari Asosiasi Desa Kreatif Indonesia (ADKI) yang baru dibentuk Juni 2021 lalu. Kementerian Desa Pembangunan daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memiliki visi untuk mewujudkan pedesaan yang memiliki keunggulan kolaboratif dan daya saing dalam rangka menyokong ekonomi Indonesia yang berbasis gotong royong. Oleh karena itu, dengan bersinergi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan didukung oleh ADKI, Kemendes PDTT berkomitmen untuk mewujudkan program melahirkan 1000 desa kreatif dan inovatif dengan cara memberikan pendampingan, dukungan permodalan, peningkatan jaringan, dan faktor koordinasi.
Karya design mahasiswa LaSalle menggunakan tenun Sumba
Sumber: buletintekstil.com
Narasumber ketiga adalah tokoh
yang tidak asing lagi bagi dunia pariwisata Indonesia, yaitu Hariyadi B. S.
Sukamdani, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), President Director PT Hotel Sahid
Jaya International Tbk, juga sebagai salah satu owner dan founder dari LaSalle
College International di Indonesia (Jakarta dan Surabaya). Pada webinar ini
Hariyadi Sukamdani membicarakan mengenai peran institusi pendidikan tinggi,
khususnya LaSalle College Jakarta (LCJ) untuk mendidik para mahasiswanya
menciptakan design-design modern dengan menggunakan kain-kain tradisional
Nusantara (wastra), khususnya tenun tradisional Indonesia. LCJ berusaha
menanamkan apresiasi dan kecintaan para mahasiswanya terhadap kebudayaan lokal
Indonesia dan berupaya untuk mengintegrasikannya kepada design-design modern
yang dapat digunakan sesuai dengan trend masa kini tanpa melupakan unsur-unsur
kebudayaan tradisional yang masih berlaku. Karena hampir semua mahasiswa
fashion design LCJ adalah generasi Z, maka mereka berupaya menginterpretasikan
wastra Indonesia dengan design-design yang mereka pahami dan sukai.
Design-design yang terasa young and fresh itulah yang memang didorong oleh LCJ kepada para mahasiswanya agar wastra Indonesia dapat dicintai dan dilestarikan oleh generasi muda Indonesia. LCJ juga mendorong para mahasiswanya untuk membeli wastra dari para perajin langsung agar dapat membantu perekonomian penduduk setempat serta mendorong mereka agar terus mempertahankan tradisi tenun mereka, mendorong keberlangsungan ekonomi dan kebudayaan.
Karya design mahasiswa LaSalle menggunakan tenun Sumba
Sumber: buletintekstil.com
Narasumber terakhir adalah seorang
desainer dan filantropis yang nama dan karya-karyanya sudah mendunia, yaitu Sir
Dr. Harry Darsono Ph.D. Beliau lah yang pertama kali mempopulerkan istilah
adibusana, yang merupakan istilah Indonesia dari haute couture. Dalam
menciptakan karya-karyanya yang sangat unik, Harry Darsono banyak mendapatkan
inspirasi dari kebudayaan tradisional Indonesia, terutama tenun dan batik.
Sebagai desainer busana dan tekstil, beliau banyak memiliki ide untuk melakukan
pembaharuan. Menurutnya, desain-desain motif tekstil Indonesia harus selalu diperbaharui
dan berinovasi agar generasi muda tertarik dan mau melestarikannya. Di tahun
1980an, Harry Darsono memiliki ide untuk mendesain motif tenun tradisional yang
belum ada saat itu, yaitu mendesain satu motif utuh untuk kain sebesar 2,5
meter.
Banyak penenun yang menolak untuk
mengerjakan tenun desain beliau tersebut dengan berbagai alasan. Akhirnya ia
menemukan satu penenun yang mau mengerjakannya, dan setelah jadi ia
memasarkannya ke Eropa dan sangat laku terjual di berbagai department store
seperti di Jerman dan London, juga di Jepang. Bahkan, salah satu museum di
Jepang memintanya untuk membuat tenun katsuri dengan menggunakan motif
ciptaannya. Salah satu ide beliau yang lain adalah dengan membuat tenun dengan
menggunakan benang filamen (benang obras) sehingga biaya ongkosnya menjadi
lebih murah dibandingkan dengan menggunakan benang katun biasa. Ternyata
setelah sukses membawa tenun-tenun dengan motif kreasinya tersebut ke dunia
internasional, banyak yang mulai meniru motif yang dibuat oleh beliau. Harry
Darsono sendiri tidak mempermasalahkannya, karena ia memiliki filosofi, jika
suatu design dicontek orang lain maka berarti design tersebut memang bagus dan
disukai orang.
Semoga dengan pencanangan perayaan Hari Tenun Nasional setiap tanggal 7 September ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk lebih banyak menggunakan tenun tradisional Indonesia dan melestarikannya. Diharapkan di masa depan tenun tradisional akan semakin banyak mengalami pembaharuan dan inovasi sehingga bisa menjadi semakin populer di masyarakat Indonesia, terutama bagi generasi muda Indonesia.
Sumber Berita: buletintekstil.com