Potensi Industri Bioteknologi di
Indonesia sangatlah besar dan menjadi salah satu kriteria untuk membentuk “Greener
Textile Production”. Menurut istilahnya, bioteknologi adalah teknik untuk
mengubah bahan mentah melalui proses biologi sehingga menghasilkan produk yang
lebih berguna. Sedangkan bioteknologi industri adalah pengaplikasian bioteknologi
untuk memenuhi tujuan aktivitas industri, mulai dari manufaktur, bioenergi hingga biomaterial. Termasuk penggunaan sel dan komponen sel seperti organel ataupun enzim
untuk menghasilkan sebuah produk.
Bioteknologi telah berkembang di Indonesia sejak lama namun cenderung lambat dikarenakan beberapa faktor. Oleh karenanya, dibutuhkan penelitian bioteknologi guna meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta pengetahuan tentang bioteknologi.
Jenis enzim yang sering digunakan pada proses tekstil diantaranya yaitu enzim amilase pada proses desizing serat kapas dan proses biopolising pada pencucian denim. Metode enzimatik juga dapat diaplikasikan pada proses scouring, bleaching, penguraian pada serat yang berasal dari kulit pohon, proses scouring pada serat wol, degumming serat sutera, serta pencelupan dan penyempurnaan proses tekstil yang masih terus dikembangkan.
Saat ini, industri manufaktur
tekstil dituntut agar lebih efektif, efisien, menekan biaya produksi dan
menerapkan teknologi yang berkelanjutan supaya menghasilkan produk yang lebih “eco-friendly”
dan higienis.
Perkembangan bioteknologi pada
industri tekstil menunjukkan kemungkinan untuk mengurangi biaya produksi dan menurunkan
kendala lingkungan. Kendali ini dapat diterapkan di hampir setiap tahap proses produksi
dan penyempurnaan tekstil sehingga pengolahan limbah dapat lebih baik. Hak ini
bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia yang mahal, beracun, dan
berpolusi sehingga produk tekstil yang dihasilkan lebih bersih dan “Greener
Textile Production”.
Meskipun beberapa alat
bioteknologi berhasil diterapkan dalam industri tekstil. Para peneliti masih berjuang
keras untuk menemukan cara yang dapat diandalkan guna memperluas cakrawala
bioteknologi tekstil dari skala laboratorium ke skala industri untuk memberikan
manfaat terkait sistem dan kualitas produk.
Kali ini kita akan membahas proses
enzimatik yang diaplikasikan pada serat kapas. Serat yang berasal dari biji
kapas ini tediri 95% selulosa dan 5% campuran seperti hemiselulosa, malam,
protein, asam amino dan zat organik/an-organik. Berikut ini tahapan proses yang
diaplikasikan dalam pembuatan kain katun atau cotton fabric.
1.
Desizing
Desizing ialah proses penghilangan kanji dari kain greige atau blacu katun agar kain siap di print/dye (warna). Desizing dapat dilakukan secara kimiawi, fisik atau kombinasi dari keduanya. Proses desizing kimia diawali dengan cara pembusukan dimana kanji melalui hidrolisis (penguraian zat pada reaksi kimia oleh air). Sebagian akan diubah dalam keadaan larut untuk membentuk enzim mikroba kemudian sisa kanji tersebut akan dibersihkan melalui proses pencucian dan pembilasan.
Namun proses pembusukan ini dinilai kurang efisien dan waktu prosesnya pun lebih lama. Sehingga banyak yang beralih menggunakan metode desizing yang kedua yaitu menggunakan asam sulfat encer. Pada metode ini, kanji akan dihidrolisis dengan asam sulafat encer agar terbentuk satu larutan disperse.
Gambar 1 Alur Proses pembuatan kain katun
Penggunaan asam sulfat encer pada metode desizing fisik
kemungkinan besar akan merusak serat kapas. Selain itu pada proses oksidasi
membutuhkan variasi waktu pada suhu yang tinggi dan membutuhkan energi yang
cukup besar untuk netralisasi. Sehingga metode ini dapat menyebabkan berbagai
kerusakan lingkungan mulai dari pencemaran dan berbagai kerusakan serat.
Metode terakhir yaitu desizing melalui hidrolisis dengan
bantuan enzim amilase. Enzim satu ini telah lama dikenal dan sering digunakan dalam
proses desizing. Enzim amilase mampu mengubah larutan yang tidak larut menjadi dapat
larut untuk mempermudah penghilangan kanji pada kapas dengan cara mencucinya.
Penggunaan enzim amilase akan mengurangi penggunaan zat-zat
kimia yang berdampak pada lingkungan. Namun, secara komersial penggunaan enzim
amilase tidak dapat memenuhi kebutuhan industri karena kurangnya daya tahan
enzim terhadap suhu. Proses desizing dengan bantuan enzim amilase memerlukan
suhu sekitar 70 C atau lebih. Bakteri Bacillus stearothermophilus mampu
memproduksi enzim amilase yang lebih stabil pada suhu tinggi dan range
aktivitas pH yang luas.
Bagan 1 Manfaat penggunaan enzim pada produksi tekstil
Beberapa dekade
terakhir, metode enzimatik yang mulai diterapkan pada tahap proses pembuatan
benang dan kain. Proses enzimatik pada kapas banyak tersedia di pasar seperti
pada tabel
1. Enzim digunakan pada tahapan proses seperti desizing, bio-scouring, bleaching, dan bio-stoning.
Tabel 1 Jenis
enzim yang ada di pasaran
2.
Bioscouring
Bagian kutikula pada serat kapas memiliki komposit yang rumit, mengandung kitin, malam, pektin dan protein. Pektin, hemiselulose dan protein tersambung pada dinding utama selulose microfibril seperti pada gambar 2.
Gambar 2 Hubungan antara komponen selulosa dan
non-selulosa pada dinding utama selulose microfibril
Secara konvensional, hidrofobik non selulosa dapat
dihilangkan menggunakan larutan alkali panas pada proses scouring guna memperbaiki
daya serap dan memudahkan proses pencelupan atau dyeing dan pencapan/printing.
Meski penggunaan alkali dinilai dapat lebih efektif tetapi dalam pelaksanaannya
membutuhkan jumlah air, suhu dan pH yang tinggi.
Berdasarkan komposisi non-selulosa pada serat kapas, proses
bioscouring ini dapat dilakukan dengan bantuan enzim pectinase, kutinase,
selulase, protease, xylanase, lipase dan kombinasi dari semuanya. Penggunaan
enzim pada proses scouring ini tidak memberikan dampak negatif untuk lingkungan
atau serat kapa situ sendiri.
Dalam hal ini, znzim pektinase dinilai lebih efektif karena
degradasi dan eliminasi membuat malam lebih mudah terlepas, meningkatkan daya
serap dan meminimalisir kerusakan serat kapas seperti terlihat dari Analisa SEM
pada gambar 3.
Gambar 3 Pengamatan menggunakan SEM (a) Scouring
menggunakan enzim (b) Scouring menggunakan alkali
Bioscouring lebih efisien dibandingkan perlakuan
alkali konvensional dalam mengatasi sifat fisikokimia seperti, daya serap,
indeks putih, derajat polimerisasi, indeks kristalinitas, kepekatan warna,
kecerahan, kelembutan, serta penurunan berat. Namun pada proses bioscouring ini
mempunyai beberapa kekurangan seperti:
·
Mahalnya biaya pemrosesan
·
Laju reaksi yang relatif lambat
·
Efektivitas rendah, sehingga menghambat
penerimaannya oleh industri tekstil.
3.
Bleaching
Tujuan utama dari proses bleaching ialah menghilangkan
warna pigmen alami dan memberikan penampilan putih bersih. Biasanya proses bleaching
menggunakan hydrogen peroksida (OH), pH alkali tinggi dan temperature yang hampir
mendidih. Proses ini membutuhkan jumlah air yang cukup banyak untuk
membersihkan sisa-sisa peroksida pada kain. Karena sisa peroksida ini akan mengganggu
kelancaran proses pencelupan. Sayangnya, penggunaan hydrogen peroksida dapat
menyebabkan reaksi radikal yang akan merusak serat tersebut.
Penggunaan enzim menjadi alternative pada proses
bleaching untuk mengatasi permasalahan ini. Enzim laktase akan menyerang gugus
hidroksil fenolik sehingga warna dan flavonoid kapas berwarna akan hilang.
Namun, analisis biaya mengungkapkan bahwa menggunakan enzim laktase lebih mahal
daripada proses konvensional.
Katalase terkenal karena kemampuannya untuk meningkatkan
laju reaksi kimia pada langkah perubahan hidrogen peroksida menjadi air dan
oksigen. Untuk mengurangi polusi pada proses bleaching, pembilasan
konvensional untuk menghilangkan sisa hidrogen peroksida dapat diganti pembersihan
enzimatik menggunakan katalase.
Proses bleaching menggunakan enzim belum banyak digunakan
karena biaya yang tidak murah dan proses yang terlalu rumit. Sehingga diperlukan
suatu upaya guna meningkatkan efisiensi proses dan meminimalisasi biaya.
Sumber: Buletin Tekstil Edisi 18