Industri fesyen merupakan pemacu pertumbuhan ekonomi
dunia. Secara global nilai bisnis
industri fesyen mencapai USD 2,4 Milyar yang melibatkan lebih dari 75 juta
total tenaga kerja langsung di sepanjang rantai pasok. Fakta tersebut
menempatkan sekor fesyen sebagai industri menufaktur nomor 3 terbesar dunia
setelah industri otomotif dan IT menurut World Bank, 2019.
Selain menjadi driver pertumbuhan
ekonomi dunia, ternyata industri fesyen juga bertangung jawab atas pencemaran
dan perubahan iklim global. Pada tahun 2018, emisi gas rumah kaca dari industi
fesyen mencapai 2,1 milyar ton CO2e atau sekitar 4% dari total emisi gas rumah
kaca dunia. Bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 2,7 milyar ton CO2e
pada tahun 2030.
Kurang lebih 70% dari angka
tersebut berasal dari kegiatan produksi, mulai dari pengolahan serat tekstil,
pemintalan, pertenunan dan perajutan, pencelupan dan printing hingga pembuatan
pakaian jadi. Sedangkan 30% sisanya
berasal dari kegiatan retail dan penggunaan akhir oleh konsumen (McKinsey,
2020).
Jika dilihat lebih mendetail, produksi serat tekstil memiliki angka kontribusi paling besar dalam emisi gas rumah kaca. Sekitar 800 juta ton CO2e atau 38% emisi gas rumah kaca berasal dari kegiatan produksi serat tekstil. Tidak hanya dari kegiatan produksi serat buatan yang melibatkan proses kimia pabrik, penggunaan serat alam seperti wool dan kapas pun memberikan emisi karbon dengan skala cukup besar.
Sumber: circularfashionla.com
International Wool Textile
Organization (IWTO) menyatakan bahwa pengolahan serat wool untuk
menghasilkan sehelai pakaian menyumbang 50% dari total emisi. Sementara penanaman kapas konvensional
menghabiskan lebih banyak air dan pupuk kimia. Pupuk kimia ini turut
bertanggung jawab atas emisi gas methana dan nitrogen ke atmosfir termasuk gas
rumah kaca yang berbahaya.
Mitigasi dampak buruk industri
tekstil dan fesyen dapat dilakukan dari dua sisi yaitu sisi konsumsi maupun produksi.
Sebagai negara penghasil produk
tekstil dunia, Indonesia juga perlu mempelajari potensi pengurangan jejak
karbon terutama pada proses pembuatannya.
Dekarbonisasi pada industri pengolahan serat buatan dapat dilakukan
dengan peningkatan efisiensi energi. Mulai dari diferensiasi pengunaan melalui
pengurangan ketergantungan pada energi fosil atau peningkatan efisiensi mesin
untuk meningkatkan hasil produk pada level penggunaan energi yang sama.
Mitigasi serupa dapat dilakukan
pada industri antara, yaitu pembuatan benang dan kain. Pada industri pencelupan dan finishing,
potensi dekarbonisasi tambahan dapat dilakukan dengan upaya mengurangi konsumsi
air dan bahan kimia.
Meski pengolahan tekstil menjadi penyumbang
terbesar emisi karbon, bukan berarti sumber emisi lainnya bisa dibiarkan begitu
saja. Seperti halnya kegiatan transportasi, yang dalam konteks produksi tekstil
adalah kegiatan ekspor dan impor. Dalam penelitian McKinsey, disebutkan bahwa
kegiatan transportasi pada industri fesyen bertanggung jawab sebesar 3% dari
total emisi gas rumah kaca.
Angka tersebut mengacu pada kegiatan transportasi produk jadi yang dilakukan oleh retailer. Persentase mungkin jauh lebih besar jika kegiatan pengangkutan bahan baku di sepanjang rantai pasok turut diperhitungkan.
Era perdagangan bebas mendorong
industri di berbagai negara melakukan spesialisasi. Mereka tidak lagi melakukan seluruh kegiatan
produksi secara terintegrasi di sepanjang rantai pasok. Selain itu, bahan baku yang tidak tersedia di
negaranya, sangat mudah diperoleh melalui impor.
Di satu sisi hal ini memang
berpeluang untuk meningkatkan efisiensi sekaligus merangsang pertumbuhan
industri logistik. Tetapi berdampak pada
membludaknya pemakaian bahan bakar fosil yang dapat meninggalkan jejak karbon di
lingkungan.
Indonesia dianugerahi kekayaan
alam yang mampu menopang pertumbuhan industri tekstil dan fesyen. Walaupun kapas sebagai bahan baku utama
industri tekstil tidak dapat tumbuh optimal di Indonesia, tapi dengan kemajuan
teknologi Indonesia terbukti mampu menjadi pemasok rayon dan polyester
dunia.
Kapasitas yang dimiliki industri
rayon dan polyester secara nasional, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan
industri tekstil di dalam negeri. Maka,
industri tekstil di Indonesia sebenarnya berpeluang besar untuk turut serta
menekan jejak karbon dari produk fesyen.
Penggunaan bahan baku dalam
negeri merupakan salah satu upaya untuk menekan jejak karbon dalam produk
tekstil Indonesia. Kegiatan impor bahan
baku, baik melalui laut maupun udara akan menambahkan jejak karbon pada produk
yang dihasilkan.
Sebuah situs carbon calculator
www.carboncare.org menyebutkan bahwa untuk mengapalkan 1ton produk dari Texas
ke Tanjung Priok dengan pelayaran langsung tanpa transit akan meningalkan jejak
114,65 kg CO2e ke atmosfir. Sedangkan
pengapalan dari Afrika Selatan menuju Tanjung Priok akan meninggalkan jejak
42,55 kg CO2e untuk setiap ton nya.
Padahal mayoritas pelayaran
internasional ke Tanjung Priok bukan merupakan pelayaran langsung, melainkan
pelayaran transit yang meninggalkan jejak karbon lebih banyak pada setiap ton
bahan baku yang diimpor.
Dengan demikian tepat kiranya program substitusi impor yang digagas Kementerian Perindustrian. Substitusi impor bahan baku tekstil tidak hanya merangsang pertumbuhan industri di dalam negeri, namun juga menciptakan efek baik bagi lingkungan berupa pengurangan jejak karbon pada produk tekstil Indonesia.
Sumber: Buletin Tekstil Edisi 20