"Imitation is the highest of form of flattery," ungkapan paling populer dari Coco Chanel yang relevansinya kembali dipertanyakan pada perkembangkan masa kini. Di satu sisi, banyak produk tiruan bermunculan yang mengklaim 'terinspirasi' dari karya desainer ternama. Lantas, sejauh mana flattery (sanjungan) itu bisa diterima?
Apalagi setelah istilah “barang
KW” makin mudah dijumpai di pasar online maupun offline. Mirisnya, kini tidak
cuma produk-produk desainer luar negeri saja yang jadi bahan
"contekan", karya para desainer Indonesia pun tak luput dari fenomena
ini. Padahal, bisa dibayangkan berapa lama dan sulitnya proses pembuatan sebuah
desain produk yang benar-benar baru dan orisinal. Dimulai dari RnD sampai terciptalah
satu barang yang ‘fresh’.
Produk “Terinspirasi” Karya Desainer Tanah Air
Tak sekali atau dua kali, karya desainer Indonesia dijadikan sebagai media “inspirasi” oleh
pedagang lokal untuk membuat produknya. Namun baru-baru ini, ada brand lokal yang
menjual produk kelewat mirip dengan produk orisinal milik desainer.
Contohnya, brand ritel yang
mengeluarkan pakaian dengan motif dan warna mirip ciri khas Sejauh Mata
Memandang. Ada pula tas persegi panjang dengan aksen hati terbalik yang jadi
ikon karya Peggy Hartanto yang tiruannya beredar di e-commerce dengan desain sangat
mirip, tapi dengan aksen hati yang diposisikan berbeda. Produk tersebut dijual
dengan harga miring dari produk aslinya, Beauties.
Meski dengan nuansa yang sangat
mirip, produk tetap bisa dibedakan dari produk asli, sehingga praktik tersebut
cukup rumit dipertimbangkan legalitasnya untuk digugat. Sebab, desain tidak
sepenuhnya sama serta penggunaan material yang berbeda sehingga konsumen tetap
bisa menilai produk itu bukan karya authentik desainer yang jadi
inspirasi, walau tetap sangat mengingatkan mereka pada barang aslinya.
Namun, apakah etis menggantungkan sebagian besar kreativitas untuk membuat
produk komersil dari karya orang lain?
Jerat Hukum yang Belum Kuat
Secara yuridis, masalah ini
menjadi kompleks. Hukum di Indonesia, seperti Undang-Undang Desain Industri,
memberikan perlindungan bagi karya-karya yang telah didaftarkan. Namun,
seringkali produk tiruan dibuat dengan sedikit modifikasi, seperti mengubah
ukuran, bentuk, atau material. Hal ini membuat praktik tersebut sulit digugat
karena tidak sepenuhnya identik.
Meski demikian, pakar hukum
melihat adanya celah. Berdasarkan Undang-Undang Persaingan Tidak Sehat,
peniruan dapat dianggap melanggar hukum jika menimbulkan kebingungan atau
asosiasi di benak konsumen bahwa produk tersebut berasal dari desainer asli.
Meskipun demikian, masih banyak desainer yang enggan menempuh jalur hukum
karena proses yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. Kementerian Hukum dan
HAM juga telah mengimbau para desainer untuk mendaftarkan kekayaan intelektual
mereka sebagai langkah preventif.
Menilik Kasus Legalitas IP
Lainnya
Jadi masalah global, kasus
“terinspirasi” atau mencontek desain juga terjadi di berbagai negara. Salah
satunya adalah kasus IP antara Issey Miyake dan Largu Co. Ltd, perusahaan asal
China, yang meniru tas ikonis Bao Bao. Melansir dari laman WIPO
Magazine, Largu Co. Ltd menjual tas yang kelewat mirip dengan Bao Bao
hingga menimbulkan kebingungan di tengah konsumen.
Pada tahun 2019, Pengadilan
Distrik Tokyo memutuskan bahwa Largu Co. Ltd melanggar Undang-Undang Pencegahan
Persaingan Tidak Sehat Jepang dan memerintahkan perusahaan untuk membayar Issey
Miyake hampir 700.000 USD sebagai ganti rugi, Beauties. Menariknya, pengadilan
menolak perbedaan ukuran dan bentuk antara elemen-elemen segitiga pada
produk sehingga Issey Miyake berhasil menangkan kasus.