Kain inuh merupakan salah satu warisan budaya dari wilayah Lampung Selatan beradat Sai Batin. Masyarakat Lampung pesisir menganggap kain ini mempunyai kekuatan gaib dan sangat disakralkan. Menariknya, ternyata produksi tenun ikat inuh justru dilakukan oleh pengrajin tenun tradisional di Desa Troso, Pecangaan, Jepara lho.
Lalu, bagaimana asal usul dan pembuatan kain inuh? Simak ulasan lengkapnya berikut ini, ya!
Konon nama inuh berasal dari kata “Induh” (dalam bahasa lampung) yang berarti tidak tahu. Sebutan ini dilatarbelakangi ketidaktahuan pemilik kain ketika ditanya tentang kepastian asal usulnya. Para peneliti dan peminat kain luar negeri kesulitan melafalkan kata Induh, sehingga terdengar seperti “Inuh”.
Berdasarkan keterangan Wearing
Wealth and Styling Identity (2009), kain inuh pertama kali ditemukan
di daerah Lampung Barat (Peminggir Skala Brak) sekitar akhir abad ke-19. Tetapi,
sumber lain menyebutkan bahwa kain ini sudah ada sejak abad ke-17 dan ditenun oleh
seniman Suku Komering. Setelah uji karbon, diperkirakan usia kain Inuh kurang
lebih 300 sampai 400 tahun.
Dulunya tenun Inuh hanya boleh dipakai
oleh pewaris wanita tertua di hari pernikahannya. Dan menjadi pelopor tenun
ikat berwarna tunggal yang ditemukan pada model tapis pada
umumnya. Ketika segulung Tapis diwariskan ke generasi berikutnya, kekuatan spiritual
terkumpul dalam sebuah pusaka peninggalan yang dipuja-puja dan harus
diperlakukan dengan hormat. Saat ini kain serupa tersimpan baik di museum
Belanda.
Penenun Sai Batin merepresentasikan
kain ini dari pandangan hidup terhadap lingkungan sekitar dan kemajuan unsur budaya yang
dimiliki. Ragam hias dan jenis tenun inuh memang tidak sebanyak tapis
Pepadun serta tidak menggambarkan tumpulnya pengetahuan. Sebab tingkat
kerumitan kain inuh lebih tinggi dibanding Tapis Pepadun.
Corak tenun ikat pada kain Inuh
memperlihatkan keterampilan dan ketekunan masyarakat Sai Batin. Jejak sejarah
Inuh tak bisa ditelusuri secara utuh karena keterbatasan peninggalan dan
proses pewarisannya yang sempat terputus cukup lama. Hal itu diperkirakan
terjadi karena peristiwa meletusnya Gunung
Krakatau pada tahun 1883 yang menyapu hampir keseluruhan pesisir
selatan Pulau Sumatera.
Proses Pembuatan dan Makna Kain Inuh
Tidak semua wanita bisa memakai kain inuh. Hanya istri dari laki-laki tertua dalam keluarga saja yang boleh mengenakannya. Itu pun ketika acara pernikahan. Kerumitan motifnya menggambarkan status sosial pemakainya, makin rumit berarti makin tinggi.
Sumber: https://jatengprov.go.id/
Tenun inuh dibuat dari benang sutera. Proses pewarnaannya masih menggunakan teknik celup tradisional dan bahan-bahan alami. Sesuai namanya, tenun ikat inuh ditenun dengan metode ikat dimana tiap motifnya terbentuk melalui ikatan-ikatan benang. Dilihat dari mekanisme pembuatannya, kain Inuh manggambarkan nilai keuletan, kerja keras, kecermatan, dan penghargaan terhadap kaum wanita.
Selain inuh, penduduk di kawasan
pesisir Lampung juga memiliki tenun ikat bidak galah napuh yang dikhususkan untuk
acara adat, baik laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan kedua wastra tenun ini
terletak pada coraknya. Motif kain inuh berupa tumbuhan, kapal, dan rumah
tradisional. Sedangkan tenun bidak galah bermotif bintik-bintik kecil yang terinspirasi
dari bentuk kulit hewan. Kata ‘napuh’ sendiri merujuk pada hewan sejenis kancil
yang mempunyai kulit berbintik di bagian leher.
Pemerintah daerah Lampung Selatan
berupaya mengenalkan kain tradisional ini kepada masyarakat luas dengan membuat
Taman Kain Inuh. Monumen Kain Inuh berdiri kokoh menghiasi taman hijau terbuka
yang terletak di Kalianda itu.
Menginjak tahun 2005, kain tenun
ikat ini dinobatkan dan dilestarikan sebagai motif batik khas Lampung Selatan. Hingga
akhirnya, Kemendikbud menetapkan kain inuh sebagai salah satu Warisan Budaya
Tak Benda (WBTB) Indonesia pada 2016 lalu.
Awalnya, tenun ikat inuh sangat
disakralkan sehingga penggunaannya terbatas dalam acara adat saja. Namun setelah
mendapat persetujuan dari pemangku adat, kain inuh mulai kerap diaplikasikan
pada berbagai produk fesyen.