Tak bisa dipungkiri jika industri
fashion adalah cabang terpenting yang sangat mempengaruhi dunia pertekstilan.
Perkembangan ranah fashion pun tak lepas dari peran desainer-desainer fashion
yang terus berkreasi melahirkan karya-karya terbaik dan inovatif.
Seperti halnya di Eropa, dimana
para desainer memberikan prakiraan tren warna dan jenis kain yang akan populer
di masyarakat setiap tahunnya. Hal tersebut turut menyeret bisnis fesyen dan kain
jadi untuk menjadi “pengikut” sektor hulu.
Sekolah fesyen pun jadi “ladang”
bagi para desainer yang sedang berkembang. Karena secara langsung maupun tidak,
pengetahuan adalah faktor penentu keputusan pelanggan saat membeli tekstil.
Salah satu tokoh yang pantas dikenal atas perjuangannya mengembangkan sektor fashion Indonesia ialah Aryani Widagdo. Ibu Aryani adalah penggagas sekaligus direktur utama Arva School of Fashion yang didirikan pada tahun 1989 di Surabaya.
Aryani meniti bisnis fesyen setelah menikah dan bekerja bersama suami serta dua putranya. Ia mulai menyalurkan ekspresi seninya dengan belajar melukis pada Doyo Prawito, seorang pelukis ternama lulusan Surabaya asal Paris. Tahun 1985, dia menuntut ilmu di sekolah lokal bernama “Arel” selama dua tahun.
Aryani merasa pengetahuan itu masih
kurang, sehingga ia mengikuti pembelajaran online di International
Correspondent School di Pennsylvania. Tugas esai dan menggambar pola
dikirimkan bolak-balik. Jarak ribuan kilometer tak semerta-merta menghentikan
hasratnya untuk terus belajar.
Menyelesaikan sekolahnya di
Pennsylvania belum juga cukup memenuhi keinginannya hingga ia mencari institusi
lain. Ia berpasangan dengan temannya bernama Wirek untuk mengikuti kursus di
Jakarta. Namun setiap hari Sabtu dan Minggu, Wirek harus bolak-balik karena tidak
ingin meninggalkan keluarga dan perusahaannya di Surabaya.
Tiap kembali ke Jakarta, Wirek
akan membagikan apa yang telah dia pelajari. Hingga akhirnya, Aryani Widagdo merasa
cukup aman untuk membuka sekolah mode sendiri.
Aryani mendirikan Arva Studio pada
tahun 1989 di rumahnya sendiri yang terletak di Jalan Mayjen Sungkono. Tak disangka,
sekolah ini berevolusi dan berkembang hingga menyita perhatian para pecinta
mode.
Murid-murid memujanya karena cara pendekatan yang ramah dan teliti selama mengajar. Siswa Arva Fashion School memberikan pengaruh dalam kompetisi Concurs yang diadakan oleh Majalah Dewi (Femina Group) pada tahun 2000. Dimana ke 10 siswa yang mengirimkan sketsanya masuk ke babak final dan menjadi pemenang. Sejak saat itulah Arva Studio jadi topik perbincangan di kancah fashion Jakarta.
Selang beberapa waktu, Arva membuat
event kecil-kecilan untuk memamerkan koleksi busana tahunannya. Meski tidak
sebesar peragaan busana, namun langkah itu cukup memmbuktikan kecemerlangan
sekolah Arva Fashion School sebagai sekolah mode terkemuka di Surabaya.
Sejarah baru dimulai pada tahun
2005, saat sekolah mode ini pindah ke Jl. Sambas 16, Surabaya. Sebuah bangunan
yang lebih besar dari bangunan sebelumnya. Ada lebih banyak ruang kelas,
peralatan pembuatan pola dan menjahit pun lebih komprehensif dilengkapi proyektor
slide serta televisi di ruang teori.
Disanalah berdirinya perpustakaan
kebanggaan Aryani Widagdo yang berisikan koleksi literatur dengan judul-judul
baru. Yangmana saat itu aryani dikenal sebagai kolektor buku fashion terlengkap
di Surabaya. Seiring kepindahannya, Arva Studio berganti nama jadi Arva School
of Fashion.
Tahun 2011, sekolah fashion ini menjalin
bekerja sama dengan First Media Fashion School Singapura. Dari situ muncul peluang
bagi guru desain dan menjahit untuk mengikuti pelatihan di Singapura, serta
bagi guru yang berpendidikan global untuk mendampingi siswanya di Surabaya.
Kesuksesan sekolah fashion Aryani
Widagdo terbukti setelah melahirkan desainer-desainer kenamaan dari Surabaya. Sebut
saja Charles Sie, Yunita Kosasih, Herman Arifin, Alben Ayub Andal, dan Soko
Wiyanto. Kegigihan dan semangatnya untuk tetap bertahan di tengah kekhawatiran
maupun penderitaan ia dapatkan setelah membaca buku fashion dan menonton film
vintage. Dua hal itu adalah senjata ampuh dalam mengatasi rasa cemas yang
menyerangnya.
Dia mencurahkan lebih banyak
waktu untuk fashion dan pendidikan dengan berfokus pada pengajaran dan
penelitian. Sambil cukup antusias dengan apa yang akan ditawarkan Arva baru.
Lebih besar dan lebih baik, berani dan berani. Menjadi yang terdepan dalam
pendidikan fashion di Surabaya, nasional dan dunia.
Prestasi sekolahnya jadi momen
penentu bagi Aryani Widagdo. Ketika Arva mencapai puncak ketenaran dan
kesuksesannya pada bulan November 2014, Aryani menyadari bahwa beban mengelola
sekolah dengan nama yang sama menjadi terlalu berat baginya, yang saat itu
berusia 65 tahun, dan kesehatannya semakin memburuk.
Alhasil, ia memilih menyerahkan
kendali Arva School of Fashion kepada manajemen baru. Tumbuh keyakinan bahwa mereka
akan lebih mampu merawat Arva. Keinginan kuatnya membangun sekolah mode yang dapat
melahirkan perancang busana handal, membuat ia yakin dan membangun cabang di
berbagai kota di Indonesia.
Setelah 25 tahun lamanya, Sekolah Arva sukses tumbuh dan berkembang hingga memiliki cabang di seluruh Indonesia. Bisakah mimpinya terwujud di tangan “orang baru”? Semuanya akan terjawab oleh waktu.
Sumber:
Buletin Tekstil Edisi