Sumba Timur merupakan salah satu
wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dikenal sebagai sentra penghasil
kain tenun tradisional. Bahkan hingga detik ini, banyak masyarakatnya terutama
kaum perempuan yang punya keahlian menenun dengan peralatan tradisional. Tak
heran jika wastra tenun asal Sumba Timur selalu jadi incaran wisatawan lokal
maupun internasional.
Namun ada satu wastra yang sangat
unik dari Sumba Timur, namanya Hinggi Kombu. Lantas, apa hal menariknya?
Nah, for your information ternyata pola pada kain tenun Hinggi ini dirancang
oleh kaum pria lho. Hal itu sangatlah menarik karena lazimnya laki-laki tak
pernah ikut campur dalam pembuatan kain tenun. Apalagi soal pembuatan pola yang
butuh ketelatenan serta kesabaran.
Kain hinggi adalah wastra tenun asal Sumba yang digunakan kaum pria sebagai penutup pundak atau ikat pinggang yang menjuntai sampai lutut. Biasanya ukuran kain hinggi sekitar 1,5 meter yang terbuat dari sambungan dua lembar kain. Sedangkan kain yang ukurannya lebih dari 2 meter hanya digunakan sebagai penutup jenazah.
Sumber: https://travelinkmagz.com/
Tenun ikat hinggi didominasi warna
merah tua atau kombu dari tanaman mengkudu (morinda). Dari situlah awal mula
kain ini dinamakan Hinggi kombu. Struktur motif kain hinggi terbagi menjadi tujuh
bagian.
·
Motif tengah disebut padua, pataduku atau paduku
yang berarti ’bagian tengah’. Menggambarkan corak-corak geometris atau hak milik
anggota keluarga tertentu.
·
Bagian tengah ini diapit corak lain yang disebut
telabadita
·
Diapit lagi oleh hai atau tao (badan)
·
Lalu dihimpit kembali dengan telabawawa.
·
Khusus tenun Hinggi berkualitas tinggi, diakhiri
batas pengikat yang disebut kabakil, ulamata atau ramata (prince).
Kain Hinggi bermotif
kabakil dan tamata hanya dipakai saat upacara-upacara, sedangkan yang lain bisa dipergunakan sebagai busana sehari-hari.
Ciri khas kain kombu berupa motif ayam, burung, dan kuda yang ditunggangi manusia. Corak kuda pada kain ini menyimbolkan kejantanan, keberanian, kemakmuran dan ketangkasan. Motif ayam melambangkan kesadaran, kejantanan, serta tanda kehidupan yang terlihat pantas dan dihormati.
Kain hinggi sangat umum digunakan dalam keseharian masyarakat Sumba seperti pakaian bertamu, penyabut tamu kunjungan hingga pesta adat pernikahan atau kematian. Tak sedikit pula yang menjadikannya sebagai cinderamata bagi tamu, kenalan dan sahabat, atau saat ritual "marapu".
Sumber: https://tripsumba.com/
Penggunaan Hinggi sebagai kain
penutup jasad konon dikarenakan sifat fisiknya yang mampu menangkal bau ketika jasad
mulai membusuk. Sedangkan dari sisi spiritual, masyarakat Sumba meyakini bahwa
kain yang kualitas istimewa akan menjadi busana bagi orang meninggal setelah
berada di alam baka.
Selain motif kuda, kerbau, kadal,
rusa, ular, dan ayam. Banyak juga kain hinggi yang diberi motif hewan-hewan air
seperti udang, ikan, dan kura-kura. Corak kerbau menggambarkan tradisi pernikahan
adat Sumba dimana pengantin diharuskan untuk membawa ratusan kerbau. Sedangkan
kuda dianggap sebagai simbol hewan yang mengantarkan ruh-ruh orang meninggal.
Motif kuda dan kerbau bersifat
simbolis dan dipergunakan pada upacara-upacara tertentu. Sementara motif kadal,
rusa, dan ular lebih bersifat filosofis. Motif kadal sebagai simbmol peringatan
untuk menghindari kebimbangan, rusa untuk menghindari kesombongan, serta ular
untuk menghindari kemarahan. Hinggi bermoti ayam dan babi mengandung nilai kehidupan
sehari-hari, seolah berpesan agar masyarakat memelihara ternak guna menyambung
hidupnya.
Layaknya kain-kain tenun
tradisional pada umumnya, pembuatan kain kombu ini masih menggunakan teknik
pewarnaan alami. Dimana bahan-bahan yang digunakan menggunakan tanaman endemik
lokal seperti tanaman wuira (nila), akar mengkudu, serta daun dan kulit loba.
1.
Hinggi Kombu Kanatang
Kata ‘kombu’ merujuk
pada nama pohon mengkudu/Morinda citrifolia yang akarnya menghasilkan
pewarna alami merah. Kain Hinggi Kombu tertua adalah berasal dari Kanatang,
Sumba Timur, yang dikenakan oleh penasihat raja pada masanya. Konon, usianya
saat ini sudah lebih dari 60 tahun.
Hinggi kombu
kanatang ditenun menggunakan teknik hondu kapit dan hita. Istimewanya kain ini
terdapat pada adanya motif hita di pinggiran kiri dan kanan dan penggunaan
teknik ikat serta pahikung yang dikombinasikan.
2.
Hinggi Kawura Bara Padua
Kain tenun Hinggi
Kawura Bara Padua dibuat dengan teknik hondu kapit sehingga motif bagian
ujung atas dan bawahnya sama. Jenis kain ini hanya diperuntukkan bagi para
raja. Berwarna dasar putih polos dan berhiaskan motif Naga Parara Mata Mandung sehingga
mencerminkan kekuatan raja.
3.
Hinggi Kombu Pahikung Padu
Kain Hinggi
yang dibuat dengan teknik hondu kihil di mana motif bagian ujung atas dan bawah
kain berbeda. Motif udang yang terdapat pada kain ini menjadi simbol dari
reinkarnasi, berdasarkan pepatah kurra hillu jullu yang
artinya ‘udang tak pernah mati, hanya berganti kulit’. Kain ini juga memiliki
pesan filosofis lainnya yaitu janganlah menjadi seperti udang yang berjalan
mundur, ataupun gabus yang melayang di atas air. Pesan ini disiratkan agar
generasi muda bersikap optimis akan masa depan namun juga tetap membumi dalam
kehidupan.
4.
Hinggi Kombu Garuda
Motif garuda terlahir
karena kunjungan Presiden Soekarno ke Sumba pada tahun 1960. Burung garuda diinterpretasikan
dalam tenunan sebagai wujud kesadaran, kebangsaan, serta nasionalisme.
5.
Hinggi Kombu Andung
Kain ini punya
ciri khas motif pohon yang melambangkan kemenangan, sebab pohon Andung punya posisi
tersendiri di wilayah Sumba. Konon, pohon Andung hanya bisa ditanam di tanah
rumah yang ditempati raja. Motif kain Hinggi
Kombu Andung juga mengilustrasikan proses pemakaman raja.
Kain ikat Hinggi sangat disukai
orang asing, mungkin karena motifnya yang gagah dan spektakuler. Sehingga cocok
untuk hiasan dinding atau sebagai selimut, penutup tempat tidur, taplak meja,
upholstery dan selimut sofa.