Pengrajin batik dihadang berbagai tantangan dan problematika yang menghambat perkembangan dan upaya pelestarian budaya batik. Hal itu disampaikan oleh Presdir PT. GKBI Investment, HR. M. Edy Santosa pada Forum Grup Discussion yang digelar di Gedung Pusat Pengembangan Budaya Yogyakarta (Selasa, 21/05/2024).
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) adalah wadah sekaligus pusat bagi koperasi-koperasi batik di seluruh Indonesia memperoleh bahan baku batik. Organisasi yang diprakarsai para saudagar Batik ini didirikan pada 18 September 1948 untuk memperkuat posisi perdagangan primer batik pada masa itu.
Koperasi yang awalnya berjumlah 40 menjadi 39 Koperasi Primer Batik yang tersebar di pulau Jawa dan beranggotakan 8000 pengusaha batik. Namun kondisi sekarang sekitar 80% koperasi beralih dari pengrajin batik ke usaha lain lain seperti kuliner, minimarket, jasa transportasi, penginapan dan masih banyak lagi.
Dari total 8000 anggota kini yang tersisa hanya kurang lebih 1600 pengrajin batik aktif. Sedangkan koperasi primer GKBI hanya tersisa 8 dari total 39 Primer batik. Meski demikian, GKBI tetap mampu berkembang dan mendirikan Holding Company di bawah PT GKBI Investment (GKBI Grup).
Berikut beberapa perusahaan yang bergerak dalam naungan GKBI Grup:
· PT Primatexco Indonesia (Spinning, Weaving and Finishing)
· PT Daiwabo Industrial Pabrics Indonesia. (Dryer Canvas)
· PT Daiwabo Garment Indonesia (Garment)
· PT Tokai Texprint Indonesia. (Printing & Dyeing)
· PT. Rehal Traco (Trading – textiles)
· PT Absah Internasional (Textile Machineries, Chemical, M.E, Coal)
· Gekabei International Transport (Corporate car Rental)
· PC GKBI Medari (Cambrics)
· Wisma GKBI (Office Building – Office Space Lease)
· Galeri Batik GKBI Jakarta dan Yogyakarta
Meski sudah mereda, tapi problematika global yang meliputi pandemic, permasalahan diplomatic serta ketidakstabilan ekonomi membawa pengaruh besar terhadap perkembangan industri tekstil, termasuk batik. Dampak dari permasalahan tersebut meliputi eksport dan import mempengaruhi agregat perkembangan industri. Peningkatan kualitas demi bisa bertahan di tengah persaingan harga yang semakin ketat.
Badan pusat statistic (BPS) mencatat nilai ekspor-impor tekstil dan produk tekstil Indonesia tahun 2023 alami penurunan. Volume ekspor industri tekstil tahun 2023 hanya menyentuh angka 1,49 juta ton atau turun sekitar 2.43% dibanding 2022 (year-on-year). Nilai ekspornya pun merosot tajam hingga menyentuh angka 14,78% (yoy) jadi sekitar US$3,6 miliar.
Disisi lain, Indonesia mencatat peningkatan jumlah impor sebanyak 21,11% menjadi 2,2 juta ton pada tahun 2021 dibanding tahun sebelumnya.
Ada banyak faktor yang membuat perkembangan industri batik mengalami perlambatan. Beberapa diantaranya yaitu:
1. Tingginya harga bahan baku kain dan pewarna
2. Banyaknya produk tiruan batik yang diproduksi secara massal dan dijual dengan harga lebih murah
3. Sistem pemasaran masih manual
4. Kurangnya minat generasi muda untuk belajar batik
5. Kesejahteraan pengrajin kurang terjamin karena upah renda dan ketidakpastian tenaga kerja
6. Kurangnya perlindungan terhadap desain dan pola batik
7. Kurang akses pendidikan dan pelatihan
Dalam hal ini, perwakilan GKBI memberikan beberapa masukan, yaitu:
1. Meningkatkan pendapatan melalui kestabilan penjualan
2. Pengembangan industri batik yang berkelanjutan
3. Perluasan pasar eksport
4. Memberikan edukasi serta pelatihan pada generasi muda
5. Meningkatkan asosiasi dan komunitas
6. Mempermudah pengurusan hak paten
7. Mendorong minat generasi muda untuk menyenangi batik
8. Penetapan kebijakan pemerintah yang berpihak pada pembatik
9. Menciptakan hari berbatik di lingkungan pemerintah maupun swasta.