Implementasi konsep circular economy dan sustainable economy di sektor industri
bukan sekedar tren. Penerapannya dinilai mampu memberikan kontribusi besar
dalam penerapkan pola produksi dan konsumsi produk berkelanjutan yang menjadi
tujuan dari Sustainable Development Goals
(SDGs).
Ekonomi berkelanjutan merupakan
sebuah model pembangunan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan tetapi juga
kelestarian lingkungan hidup serta pemerataan sosial. Industri manufaktur
tekstil dan konsumen fashion pun kerap menjadi sorotan dalam upaya realisasi
circular economy. Karena sebagai industri padat karya, pabrik tekstil secara
tidak langsung menghasilkan limbah berbahaya yang mengancam kelestarian
lingkungan hidup.
Limbah tekstil sendiri terbagi
menjadi dua jenis yaitu:
·
Limbah manufaktur (pre-consumer) berupa sisa-sisa serat, benang dan kain.
·
Limbah barang-barang rumah tangga (post consumer) yang meliputi pakaian
bekas atau perlengkapan rumah tangga berbahan dasar tekstil.
Beberapa limbah pasca konsumen diarahkan ke pengepul barang bekas untuk dijual kembali. Sebagian dibawa ke pengumpulan sampah kota, dan sisanya paling banyak ditemukan di tempat pembuangan sampah.
Daur ulang limbah tekstil pun menjadi
salah satu langkah yang paling efektif untuk mereduksi limbah tekstil padat.
Sehingga mengerakkan kegiatan yang mendatangkan keuntungan dari segi ekonomi.
Mekanisme tersebut juga dapat mengurangi penggunaan energy, mencegah polusi
udara (bau), polusi tanah (lamanya waktu untuk dekomposisi), serta polusi air (material
kimia).
Konsep ekonomi berkelanjutan ini sejalan
dengan standar industri hijau yang mampu berperan meningkatkan daya saing
sektor manufaktur untuk masa depan, mengutamakan efisiensi dan efektivitas
penggunaan sumber daya. Pentingnya daur ulang pakaian bekas dirangkum dalam
Undang-undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah, Peraturan Pemerintah
No 81 Tahun 2012 tentang Pengolahan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Rumah Tangga dan PERMEN LHK No 14 Tahun 2021 tentang Pengolahan Sampah Pada
Bank Sampah.
Proses daur ulang limbah tekstil
dan turunannya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, meliputi:
1.
Sorting
Pertama-tama pakaian bekas dipisah berdasarkan jenis
bahan dan warnanya. Sehingga proses daur ulangnya bisa menghemat biaya dan
mengurangi polusi karena tidak perlu menggunakan zat warna. Aksesori berbahan
dasar non tekstil seperti plastik dan logam seperti kancing, ritsleting, rivet,
dll harus disingkirkan.
2.
Pemisahan serat
Pakaian bekas
diambil serat-seratnya lewat mekanisme shredding. Setalah itu, serat dipisah
berdasarkan panjangnya. Sertat yang panjangnya tidak memenuhi syarat untuk
dipintal bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan kasur atau barang
lainnya.
3.
Spinning
Serat yang panjangnya
memenuhi standar proses pintal akan dilakukan mekanisme pemintalan benang
(spinning), doubling serta twisting agar lebih kuat. Benang diolah lebih lanjut
untuk dijadikan kain melalui proses tenun (weaving)
atau dirajut (knitting).
Diantara tahapan proses daur
ulang limbah tersebut ada Tearing
Process yang meliputi Raw Material Sorting, Raw Material
Cutting, Tearing, Shoddy dan berakhir dengan Ball Press.
Teknologi Daur Ulang Pakaian
Bekas
Mekanisme daur ulang pakaian
bekas bisa dilakukan dengan konsep Re-usable
atau Non-Reuseable Textiles.
·
Re-useable,
dimana kondisi masih sangat layak bisa didonasikan, disewakan, diolah
menggunakan konsep up cycling atau dijual kembali (second-hand clothing).
·
Sedangkan Non-Reuseable
atau pakaian layak maupun tidak layak, dapat diproses melalui dua cara
yaitu Mechanical Recycling atau Chemical Recycling dimana hasil akhirnya
berupa benang, kain, pakaian dan produk tekstil lain.
Selain teknologi tersebut, diperlukan
teknologi untuk mendorong industri daur ulang pakaian bekas seperti:
·
Efisienitas penyortiran
·
Daur ulang kimia,
·
Mesin skala mini duntuk daur ulang mekanik,
·
Alat menyopot aksesori plastik atau metal,
·
Bagaimana mengintegrasikan rantai pasok dari
konsumen hingga menjadi barang jadi.
Sumber pakaian bekas sendiri mencakup perilaku konsumen dan pelaku industri daur ulang pakaian. Menumpuknya pakaian bekas tak lepas dari perilaku konsumtif para konsumen.
Fakta tersebut diperoleh dari survey perilaku konsumen, dimana frekuensi pemilahan baju setiap tahunnya tergolong sedikit, mayoritas 1-2 kali (64,6%) dan 3-4 kali pertahun (22,8%). Berdasarkan agregat % sama atau lebih besar dari 3 kali, didominasi oleh:
·
Wanita, dua kali lebih sering menyortir pakain
daripada pria
·
Umur26-40, adalah rentang usia yang paling
sering memilah pakain bekas dibanding usia 41-85 tahun.
·
Pekerja professional, paling sering menyortir
pakaian bekas dibanding ibu rumah tangga dan wiraswasta.
Mayoritas pakaian bekas
disumbangkan untuk kegiatan donasi (keluarga, teman, pekerja domestik dan lembaga
sosial), lain-lain (12,6%), 10,8% di buang ke tempat sampah, dan hanya 3,4% disetorkan
ke tempat daur-ulang.
Guna mempertajam manfaat daur
ulang pakaian bekas, maka perlu dilakukan pembentukan grup diskusi atau Focus
Group Discusion (FGD) yang melibatkan konsumen, pelaku industri tekstil dan
stakeholder. Sehingga recycle pakaian bekas dilakukan secata tepat dan bisa
mendatangkan keuntungan serta meningkatkan nilau perekonomian.
Yang harus lebih ditekankan lagi
adalah meminimalisir potensi kendala sustainable textile. Salah satu
problematika utama dalam upaya ini yaitu tidak adanya ketentuan atau aturan
dari pemerintah yang mengarah ke penerapan zero
waste.
Sumber: Buletin Tekstil Edisi 37