Industri pakaian jadi global
menghasilkan jutaan ton plastik ke lingkungan setiap tahun. Pakaian berbahan
sintetis menyumbang terbesar kebocoran plastik ke lingkungan, seperti
poliester, nilon, dan akrilik.
Jurnal Nature Communication yang
diterbitkan Selasa (16/7/2024), peneliti di North Carolina State University
menemukan bahwa konsumsi pakaian global menghasilkan lebih dari 20 juta ton
sampah plastik pada 2019. Sekitar 40% dari sampah tersebut dikelola secara
tidak tepat dan menjadi pencemar lingkungan.
Sementara itu, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyebut timbunan limbah
tekstil di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 2,3 juta ton per tahun. Jika
tidak ada intervensi, jumlah ini diproyeksikan akan meningkat sebesar 70% di
masa mendatang. Setidaknya Indoneisa akan menghasilkan 3,9 juta ton limbah tekstil pada 2030 dan
menjadi negara dengan tingkat polusi air tertinggi kedua akibat industri
tekstil dalam lingkup negara G20.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya limbah tekstil, diantaranya yaitu:
·
Fast fashion.
Produksi massal pakaian dengan harga murah mendorong
konsumen untuk terus membeli dan membuang pakaian dalam waktu singkat.
·
Overproduction.
Banyak perusahaan memproduksi lebih banyak pakaian
daripada yang dibutuhkan. Hal ini membuat perusahaan membuang stok pakaian yang
tidak terjual.
·
Bahan sintetis sulit terurai.
Sebagian besar pakaian saat ini terbuat dari poliester dan
serat sintetis lainnya yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai di
alam. Jika tidak diatasi, limbah tekstil dapat mengakibatkan dampak lingkungan
yang signifikan, seperti pencemaran lingkungan, emisi karbon tinggi akibat
produksi dan pembuangan pakaian, serta eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan
Teknologi daur ulang
Guna memecahkan permasalahan
tersebut, beberapa perusahaan fesyen menerapkan teknologi daur ulang tekstil
dalam industri fashion.
Daur ulang mekanis atau Mechanical recycling adalah proses
penghancuran kain bekas menjadi serat baru agar bisa digunakan kembali. Serat
hasil daur ulang biasanya diaplikasikan pada produk fungsional seperti kain
pelapis, isolasi, atau benang.
Di satu sisi,
metode ini memang terbilang lebih murah dan tidak menggunakan bahan kimia. Akan
tetapi, kualitas serat yang dihasilkan cenderung lebih rendah ketimbang serat
asli.
Berikutnya ada chemical recycling atau daur ulang kimia,
yaitu mekanisme penggunakan bahan kimia guna memecah serat tekstil menjadi
bentuk dasar untuk menghasilkan serat baru yang lebih berkualitas. Salah satu
inovasi terbaru dalam metode itu adalah pengolahan poliester dan kapas secara
terpisah agar dapat didaur ulang secara lebih efisien.
Beberapa
perusahaan seperti Worn Again Technologies dan Renewcell telah mengembangkan
teknik daur ulang kimia yang mampu menghasilkan serat berkualitas tinggi untuk
digunakan kembali dalam industri fesyen. Meski demikian, daur ulang kimia
memiliki berbagai kekurangan, seperti biaya tinggi dan berpotensi menghasilkan
limbah jika tidak dikelola dengan baik. Tak heran, perusahaan yang menerapkan
daur ulang ini masih terbatas.
Kedua metode tersebut menggunakan enzim untuk
menguraikan kain secara alami tanpa meninggalkan limbah berbahaya. Meski dalam
tahap pengembangan, teknologi ini memiliki potensi besar untuk menciptakan
sistem daur ulang tekstil yang lebih ramah lingkungan.
Selain
teknologi daur ulang, konsep circular fashion mulai diterapkan berbagai merek
fashion. Circular fashion berfokus pada penggunaan kembali pakaian bekas dengan
cara mendesain ulang atau memperbaiki pakaian. Dengan demikian, pakaian bekas
dapat digunakan kembali lebih lama.Beberapa brand ternama seperti Patagonia dan
Stella McCartney telah menerapkan konsep ini dalam lini produk mereka.
Itu dia beberapa metode yang bisa
menjadi alternatif untuk mengurangi dampak buruk industri tekstil terhadap
kesehatan lingkungan.
Sumber: https://lestari.kompas.com/