Industri fashion telah menempuh jalan panjang dalam 15 tahun terakhir. Dulu, dominasi model dengan satu standar kecantikan tertentu sangat kental. Tapi sekarang? Berkat desakan dari konsumen dan para aktivis, kita melihat lebih banyak representasi: warna kulit yang beragam, bentuk tubuh yang bervariasi, usia yang lebih luas, dan identitas gender yang inklusif. Hal ini adalah bentuk keajuan yang patut diarayakan.
Namun, di tengah euphoria kemajuan ini, muncul pemain baru
yang menggebrak panggung: kecerdasan
buatan (AI). Dari dedain pakaian, analisis tren,hingga pengalaman belanja
personal, AI telah meresap ke barbagai lini indistri. Pertanyaannya, ketika AI
mulai mengambil alih peran model, apakah ini akan membawa kita mundur dalam hal
keragaman?
Janji Manis AI: Keragaman di Ujung Jari?
Seacra teori, AI punya potensi besar untuk mendorong
keragaman. Bayangkan: seorang desainer bisa menciptakan model virtual dengan
spektrum yang tak terbatas. Kulit yang lebih gelap, bentuk tubuh plus-size, atau bahkan disabilitas –
semua bisa direpresentasikan secara digital tanpa batasan fisik. Hal ini bisa
membantu merek memvisualisasikan bagaimana koleksi mereka akan terlihat pada
berbagai jenis orang, dan pada gilirannya, mungkin memacu produksi pakaian yang
lebih inklusif.
Beberapa pihak berpendapat, ini adalah langkah maju memenuhi tuntutan konsumen yang sekamin
beragam. Jika AI menunjukkan pakaian pada berbagai tipe tubuh, mungkin tingkat
pengembalian barang karena “tidak sesuai” bisa menurun, mengurangi limbah
fashion. Selain itu, dengan AI, merek bisa bereksperimen dengan estetika yang
mungkin terlalu mahal atau rumit jika menggunakan model manusia.
Sisi Gelap Algoritma: Ancaman terhadap Inklusivitas Sejati
Meski janji keragaman virtual tampak menggiurkan, ada
kekhawatiran serius yang menyertainya:
·
Penggantian
Model Manusia: Ini adalah ketakutan terbesar. Jika merek bisa menghasilkan
gambar model virtual yang realistis dengan biaya lebih rendah, apa yang terjadi
pada ribuan model manusia – terutama mereka yang baru menembus batasan
industri? Profesi seperti penata rias, penata rambut, dan fotografer fashion
pun bisa terancam. Hal ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi juga tentang
hilangnya kesempatan bagi individu nyata untuk merepresentasikan kelompok
mereka.
·
Keragaman
palsu: Apakah representasi digital sama dengan inklusivitas sejati?
Ada argumen bahwa menampikan model AI yang beragam bisa menjadi cara mudah bagi
merek untuk check the box tanpa
benar-benar melakukan perubahan structural dalam praktik mereka, seperti
merekrut lebih banyak staf yang beragam atau memastikan kondisi kerja yang
etis.
·
Bias
Algoritma: AI belajar dari data yang diberikan kepadanya. Jika data
yang digunakan untuk melatih AI didominasi oelh standar kecantikan tertentu,
maka AI cenderung mereplikasi bias tersebut. Sudah ada kasus di mana AI
mengubah warna kulit model agar terlihat lebih putih, atau menghasilkan gambar
yang kurang representative dari kelompok minoritas. Ini bisa memperburuk
masalah rasisme dan diskriminasi, alih-alih menyelesaikannya.
·
Hilangnya
Autentisitas: Ada keindahan dan autentisitas dalam melihat ekspresi dan
gerakan model manusia. Interaksi manusiawi di balik sesi foto atau di runway menciptakan energi yang sulit
ditiru oleh algoritma. Apakah kita rela menukar keaslian ini dengan
kesempurnaan digital?
Masa Depan
Fashion: Harmoni antara Manusia dan Mesin?
Perjalanan fashion menuju keragaman sejati adalah proses yang
panjang dan berkelanjutan. AI, seperti teknologi lainnya, adalah alat.
Potensinya untuk baik atau buruk sangat tergantung pada bagaimana kita memilih
untuk menggunakannya.
Jika kita ingin AI menjadi pendorong keragaman, bukan
penghambat, maka industri fashion perlu:
·
Mengembangkan
AI secara Etis: patikan dataset yang digunakan untuk melatih AI
representatif dan bebas bias. Libatkan para ahli etika dan perwakilan dari
berbagai komunitas dalam pengembangan teknologi ini.
·
Menjadikan
AI sebagai Pelengkap, Bukan Pengganti: AI bisa menjadi alat yang hebat
untuk eksperimen desain dan visualisasi awal, namun tidak menggantikan peran
vital model manusia.
·
Fokus pada
Inklusivitas Nyata: Keragaman di runway
dan di iklan harus didukung oleh keragaman di balik layar – dari desainer,
fotografer, hingga eksekutif perusahaan.
Industri fashion telah menunjukkan kemampuanya untuk
beradaptasi dan berevolusi. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa
kemajuan teknologi berjalan seiring dengan kemajuan sosial, sehingga keragaman
yang telah kita perjuangkan tidak surut, melainkan terus mekar, baik di dunia
nyata maupun di dunia digital.