Dapat barang bagus dan bermerk dengan
harga miring, itulah esensi dari thrifting. Kata ini mungkin sudah
enggak asing lagi, apalagi di kalangan anak muda yang melek fashion. Di Indonesia, fenomena thrifting telah
menjadi perbincangan hangat yang menghebohkan selama beberapa tahun belakangan.
Walaupun digemari banyak kalangan, kegiatan ini memicu banyak perdebatan karena telah melampaui batasan sosial. Apalagi banyak produk thrifting berasal dari impor illegal yang tidak jelas asal-usul dan kebersihannya. Fenomena thrifting menghadirkan dua sisi mata uang yang kontras, “peluang cuan yang menggiurkan bagi segelintir otang sekaligus ancaman serius bagi industri tekstil, lingkungan, dan kesehatan”.
Pada prinsipnya, thrifting adalah
kegiatan berburu atau membeli barang bekas yang masih layak pakai. Istilah
"thrifting" sendiri berasal dari bahasa Inggris "thrift"
yang berarti hemat atau bijaksana dalam menggunakan uang. Jadi, secara harfiah,
thrifting merujuk pada cara belanja yang cerdas dan efisien.
Meski kerap diidentikan dengan pakaian
bekas, sebenarnya thrifting juga mencakup barang-barang lain seperti
sepatu, tas, buku, perabot rumah tangga, hingga barang elektronik. Tempat
thrifting pun bisa bermacam-macam, mulai dari pasar loak, toko khusus barang
bekas (thrift shop), hinggal platform jual beli (online).
Thrifting menjadi sangat populer,
khususnya di kalangan anak muda, karena beberapa alasan:
Meski dapat mengurangi sampah
tekstil, tapi jika tidak dilakukan sesuai aturan dan prinsip sustainability,
thrifting dapat memberikan dampak negatif terhadap perekonomian, lingkungan, hingga kesehatan. Secara umum, kegiatan thrifting memang tidak dilarang di
Indonesia. Tapi, pemerintah melarang kegiatan impor pakaian bekas dari luar
negeri, apalagi kalau dilakukan secara illegal.
Badan Pusat Statistik mencatat lonjakan
impor pakaian bekas pada tahun 2022 yang bahkan telah menyentuh angka 623% dibandingkan
tahun 2021. Kondisi ini kemungkinan besar dipicu oleh kondisi pemulihan
perekonomian pasca pandemic yang membuat banyak orang lebih suka bergaya dengan
baju bekas.
Permasalahan thrifting barang
impor ilegal menjadi hambatan serius dalam upaya memajukan ekonomi dan
pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Selama beberapa tahun belakangan,
pasar barang bekas impor illegal menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan.
1.
Ancaman Bagi Industri Tekstil Lokal
Salah satu
dampak paling kontroversial dari thrifting adalah ancamannya terhadap industri
tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Pakaian bekas impor yang dijual
dengan harga sangat murah menciptakan persaingan yang tidak sehat. Produsen
lokal, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sulit bersaing dengan
harga tersebut karena mereka harus memperhitungkan biaya produksi, bahan baku,
dan upah pekerja.
Akibatnya,
permintaan terhadap produk lokal bisa menurun drastis, yang berujung pada
penurunan produksi dan bahkan penutupan pabrik. Hal ini bisa berdampak pada
pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi ribuan pekerja di sektor ini, mengancam
stabilitas ekonomi lokal.
2.
Risiko Kesehatan yang Mengintai
Pakaian bekas,
terutama yang diimpor dari luar negeri, seringkali tidak melalui proses
sanitasi yang memadai. Pakaian ini berpotensi membawa kuman, jamur, bakteri,
atau bahkan kutu dan tungau. Jika tidak dicuci dan disanitasi dengan benar,
pakaian ini bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan bagi pemakainya.
Beberapa
penyakit yang mungkin ditularkan melalui pakaian bekas antara lain:
·
Penyakit kulit: Seperti kudis (scabies)
atau gatal-gatal.
·
Infeksi jamur: Terutama pada area lembap
seperti lipatan pakaian.
·
Infeksi bakteri: Yang bisa menyebabkan
impetigo.
Meskipun
banyak pembeli yang mencuci pakaian bekas, risiko tetap ada jika prosesnya
tidak maksimal.
3.
Isu Lingkungan yang Menjadi Bumerang
Thrifting
sering dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan untuk melawan fast
fashion. Namun, dalam konteks impor skala besar, thrifting justru bisa
menjadi bumerang. Pakaian bekas yang masuk ke Indonesia sering dianggap sebagai
"limbah" dari negara maju yang tidak laku di sana.
Jika pakaian
bekas ini tidak terjual di pasar, pada akhirnya akan menumpuk di tempat
pembuangan sampah. Hal ini hanya akan menambah masalah limbah tekstil di dalam
negeri, bukan menguranginya. Jadi, alih-alih menjadi solusi, thrifting bisa
jadi justru memperparah masalah sampah di Indonesia.
4.
Kerugian Ekonomi Negara
Impor pakaian
bekas yang marak di Indonesia sebagian besar dilakukan secara ilegal. Hal ini
menyebabkan kerugian bagi negara karena tidak ada pajak atau bea masuk yang
dibayarkan. Dana yang seharusnya masuk ke kas negara untuk pembangunan dan
program sosial akhirnya hilang. Fenomena ini juga merusak tatanan perdagangan
resmi yang sudah ada.
Itu dia pembahasan lengkap
mengenai fenomena thrifting di Indonesia. Fenomena ini layaknya dua sisi
mata uang, ada manfaat yang bisa didapatkan dan ada pula bahaya yang harus
diwaspadai.