Teknik tenun dobel ikat yang ada
di desa Tenganan, Bali, adalah teknik tradisional mendisain dan menenun kain
dengan cara mengikat dan mewarnai benang dari arah membujur dan arah melintang,
sehingga menghasilkan suatu efek hiasan tenun yang sangat bagus dan rapi. Hasil
tenun dengan ciri khas ini diberi nama Tenun Geringsing atau Gringsing.
Dalam bahasa Bali, Gering artinya
sakit dan Sing artinya tidak. Dari situlah, kain ini dipercaya mampu menolak
sakit atau menyembuhkan orang sakit. Nama ini sama sekali tidak berhubungan
dengan nama motif batik Gringsing dalam dongeng Panji di Kediri Jawa Timur.
Jadi jangan di hubungkan antara keduanya, karena keduanya berbeda abad
kemunculannya.
Karena ke khas-an Tenun
Geringsing Bali maka tempat penenun Geringsing ini disebut Pageringsingan,
berlokasi di desa Tenganan, salah satu dari desa kuno di Pulau Bali.
Menurut legenda yang dipercaya
penduduk setempat, dahulu kala Dewa Indra, pelindung dan guru kehidupan bagi
masyarakat Tenganan yang datang ke desa Tenganan, ia kagum dengan keindahan
langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif
tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat desa Tenganan. Dewa itu
mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain Geringsing yang
melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan
langit lainnya.
Pada “Balinesse Textiles” tulisan
Brigita Hauser dkk (1991), dan “Clothing, Ritual and Society in Tenganan
Pegeringsingan Bali “ (1984), karya Urs Ramseyer, menyatakan dugaan bahwa
masyarakat Tenganan dulu, awalnya sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan
imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat
melalui pelayaran dari Andhra Pradesh, India dan mengembangkan teknik doble
ikat tersebut secara independen di Tenganan.
Pada awal abad ke 20, ketika
mengunjungi istana pangeran Tabanan, seorang penjelajah Belanda W.0.J.
Nieuwenkamp menjadi orang Barat pertama yang menemukan “kain-kain yang sangat
luar biasa” ini. Mengetahui di Karangasem (sekarang Amlapura) ada kain tenun
yang dibuat secara eksklusif di desa terpencil Tenganan Pegeringsingan.
Ia bergegas bersama seorang
pangeran untuk menyelidiki masalah tersebut, pertama-tama melakukan perjalanan
sejauh 17 kilometer ke arah barat sepanjang pantai, dan kemudian ke pedalaman
sepanjang jalur perbukitan di arah gunung berapi, Gunung Agung. Setelah
berjam-jam berkendara dengan susah payah, dia akhirnya melewati sebuah gerbang
sempit menuju desa, deretan kompleks rumahnya terletak di lembah berbentuk U
dan dikelilingi oleh tembok dan pagar. Hasil ekspedisi inilah diantaranya yang
menjadikan Tenun Geringsing banyak di ekspose oleh peneliti lain.
Dari pengamatan, struktur, bentuk
dan warna, tenun Geringsing ini terdapat prinsip desain yang seragam yang
mengharuskan pembagian luas permukaan menjadi dua bagian “kepala” yang sesuai
pada kedua ujungnya, kemudian terdapat panel tengah dengan beberapa variasi
motif. Misalnya, kelompok motif bunga geometris dan abstrak yang berorientasi
horizontal dan vertikal dapat diulangi di seluruh bidang tengah, misalnya pada
motif geringsing pepare, geringsing enjekan siap, geringsing batun tuung.
Dalam menenun Geringsing,
terdapat beberapa pantangan, diantaranya:
·
Jika ada salah satu pihak keluarga yang sedang
menenun meninggal dunia, maka aktivitas menenun sementara dihentikan. Pekerjaan
baru dimulai lagi setelah ada upacara mekelud biji.
·
Bagi perempuan dalam keadaan mensituasi seketika
itu pekerjaan menenun dihentikan dan dimulai setelah tiga hari yang disertai
keramas rambut.
·
Pantangan menenun dimulai dari proses pemintalan
kapas menjadi benang, pewarnaan, pengeringan, sampai pada dengan menenenun.
Sumber:
Buletin Tekstil Edisi 36