Fashion itu dinamis, selalu bergerak, dan seringkali mencari inspirasi dari berbagai sudut dunia. Tapi, di balik gemerlapnya tren dan kreasi baru, ada satu isu yang belakangan ini sering jadi sorotan: cultural appropriation atau apropisiasi budaya. Mungkin sering dengar istilah ini, tapi apa sih sebenarnya? Dan kenapa ini jadi masalah serius di dunia mode?
Apa Itu Cultural Appropriation?
Gampangnya, cultural
appropriation dalam fashion adalah ketika desainer atau merek mengambil
elemen-elemen dari budaya lain (terutama budaya yang minoritas atau kurang
punya kuasa), lalu memakainya dalam desain mereka tanpa pemahaman, rasa hormat,
atau pengakuan yang layak terhadap makna asli dan sejarah di baliknya.
Bayangkan begini: ada suku adat yang punya motif kain atau
hiasan kepala yang sangat sakral, punya cerita panjang, dan hanya dipakai di
acara tertentu. Tiba-tiba, motif itu muncul di runway fashion ternama, dipakai
model internasional, lalu dijual massal sebagai "tren eksotis."
Masalahnya, desainer atau merek itu mungkin tidak tahu apa-apa tentang makna di
balik motif itu, tidak menyebutkan asal-usulnya, apalagi berkolaborasi dengan
komunitas pemilik budaya. Mereka cuma "meminjam" estetikanya saja.
Ini beda jauh dengan apresiasi budaya, lho. Kalau apresiasi,
ada upaya untuk belajar, menghargai, dan mungkin berkolaborasi dengan komunitas
aslinya. Ada rasa hormat dan niat baik untuk merayakan keragaman, bukan cuma
mengeksploitasi visualnya.
Kenapa Ini Jadi
Masalah Besar?
Mungkin ada yang berpikir, "Ah, tapi kan cuma inspirasi,
memang apa salahnya?" Eits, jangan salah. Ada beberapa alasan kuat kenapa cultural appropriation ini bisa jadi bumerang
dan menimbulkan kemarahan:
·
Hilangnya
Makna Asli: Elemen budaya yang punya makna mendalam, spiritual, atau
historis bisa jadi cuma sekadar "aksesori" kosong saat dijadikan
tren. Ini bisa sangat menyakitkan bagi pemilik budaya aslinya.
·
Keuntungan
Tanpa Balasan: Seringkali, merek besar meraup keuntungan finansial dari
budaya yang mereka ambil, sementara komunitas yang menciptakan dan melestarikan
budaya itu tidak dapat apa-apa, bahkan pengakuan pun tidak.
·
Memperkuat
Stereotip: Penggunaan yang tidak hati-hati justru bisa memperkuat
stereotip negatif tentang suatu budaya, alih-alih membangun pemahaman yang
lebih baik.
·
Penghinaan
dan Ketidakadilan: Bagi komunitas yang budayanya terus-menerus diambil
tanpa izin dan rasa hormat, ini terasa seperti penghinaan, bahkan bisa disebut
bentuk perampasan. Mereka mungkin selama ini berjuang melestarikan budayanya,
tapi orang lain seenaknya saja mengambil dan mengkomersialkan.
Contoh
Nyata Cultural Appropriation di Dunia Fashion
Kasus-kasus cultural appropriation seringkali menjadi
perdebatan sengit di media sosial dan berita fashion. Berikut beberapa contoh
paling terkenal:
1. Hiasan Kepala Suku Adat (Native American Headdresses)
Salah satu contoh paling ikonik dan sering terjadi adalah penggunaan hiasan kepala suku adat Amerika Utara sebagai aksesori mode. Hiasan kepala ini sebenarnya adalah simbol kehormatan, kepemimpinan, dan spiritualitas yang sangat penting bagi suku-suku tertentu. Hanya pemimpin atau prajurit yang telah menunjukkan keberanian dan pengabdian luar biasa yang boleh memakainya.
Contoh Kasus:
·
Victoria's
Secret Fashion Show 2012: Model Karlie Kloss muncul di runway dengan hiasan
kepala khas suku adat Amerika Utara. Ini langsung memicu badai kritik karena
dianggap meremehkan makna sakral hiasan kepala tersebut dan mengkomodifikasi
identitas budaya. Victoria's Secret akhirnya meminta maaf dan menghapus segmen
itu dari siaran.
·
Festival
Musik (Coachella, dll.): Selama bertahun-tahun, hiasan kepala semacam ini
sering terlihat dipakai pengunjung festival yang menganggapnya "aksesori
bohemian" tanpa tahu latar belakangnya. Ini juga menuai kritik dari
aktivis dan komunitas adat.
2. Cornrows dan Gaya Rambut Afrika Lainnya
Gaya rambut seperti cornrows, dreadlocks, atau kepang Afrika
memiliki sejarah panjang dan kaya dalam budaya Afrika dan diaspora Afrika
sebagai ekspresi identitas, seni, dan bahkan penanda status sosial.
Contoh Kasus: Seringkali, desainer atau model kulit putih
menampilkan gaya rambut ini di runway atau pemotretan, dan mereka dipuji
sebagai "inovatif" atau "trendsetter." Ironisnya,
orang-orang kulit hitam yang memakai gaya rambut yang sama seringkali
menghadapi diskriminasi di sekolah atau tempat kerja karena dianggap
"tidak profesional." Hal ini menunjukkan standar ganda dan minimnya
pengakuan terhadap asal-usul gaya rambut tersebut.
3. Kimono Jepang dan Hanbok Korea
Kimono dari Jepang dan Hanbok dari Korea adalah pakaian
tradisional dengan sejarah ratusan tahun, dipakai dalam acara-acara khusus dan
memiliki aturan pemakaian yang ketat. Keduanya adalah bagian fundamental dari
identitas budaya masing-masing negara.
Contoh Kasus: Di tahun 2019, Kim Kardashian mengajukan merek
dagang untuk nama "Kimono" untuk lini shapewear miliknya. Ini
langsung memicu protes global dari Jepang karena dianggap "merampas"
nama pakaian tradisional mereka untuk tujuan komersial. Setelah gelombang
kritik, Kim akhirnya mengubah nama mereknya menjadi Skims.
4.
Penggunaan Simbol Religius/Spiritual
Beberapa simbol atau motif yang memiliki makna religius atau
spiritual mendalam dalam suatu budaya seringkali diadaptasi ke dalam fashion tanpa
rasa hormat.
Contoh Kasus: Beberapa merek fashion pernah dituduh mengambil
motif atau pola dari tekstil suku asli tanpa izin atau kompensasi. Misalnya,
motif dari suku Maya, Navajo, atau Dayak yang kaya akan cerita dan mitologi,
tiba-tiba muncul di koleksi desainer tanpa pengakuan.
Bagaimana
Cara Menghindari Cultural Appropriation?
Bagi desainer, merek, atau bahkan kita sebagai konsumen, ada
beberapa langkah penting untuk menghindari appropriation dan lebih ke arah
apresiasi:
1. Riset Mendalam: Jangan cuma lihat visualnya,
pelajari sejarah, makna, dan konteks budaya di balik elemen yang menginspirasi.
2. Kolaborasi dan Konsultasi: Cara
terbaik adalah bekerja sama dengan seniman, pengrajin, atau ahli budaya dari
komunitas asli. Beri mereka ruang, pengakuan, dan kompensasi yang layak. Ini
adalah cara paling etis untuk menghadirkan keragaman budaya.
3. Berikan Kredit: Selalu sebutkan sumber inspirasi
dan akui asal-usul budaya elemen yang digunakan.
4. Tanya Diri Sendiri: Sebelum membeli atau
memakai sesuatu yang terinspirasi dari budaya lain, tanyakan: "Apakah saya
menghormati makna aslinya? Apakah ini menguntungkan komunitas aslinya? Atau
hanya sekadar mengikuti tren?"
Intinya, dunia fashion memang selalu mencari inspirasi. Tapi, ada garis tipis antara inspirasi yang menghargai dan eksploitasi yang merugikan. Dengan kesadaran dan rasa hormat yang lebih besar, fashion bisa menjadi medium yang merayakan keindahan dan keragaman budaya dunia, bukan malah merampasnya.