Fashion, lebih dari sekadar penutup tubuh, adalah bahasa universal yang merekam jejak sejarah, nilai-nilai sosial, dan revolusi budaya. Setiap lipatan kain, setiap siluet, dan setiap pilihan warna dapat menceritakan kisah sebuah era, menjadi simbol tak terbantahkan dari semangat zaman (zeitgeist) yang meliputinya. Mari kita telusuri bagaimana fashion telah menjadi penanda penting sepanjang sejarah, lengkap dengan contoh dan tokoh ikoniknya.
1. Mesir Kuno:
Kesederhanaan dalam Keagungan (sekitar 3100 SM – 30 SM)
Fashion Mesir Kuno didominasi oleh kesederhanaan,
kepraktisan, dan penggunaan linen putih yang
melambangkan kebersihan dan kemurnian, sangat sesuai dengan iklim panas.
Pakaian ini merefleksikan hierarki sosial yang jelas, di mana Firaun dan
bangsawan mengenakan perhiasan mewah, hiasan kepala kompleks seperti Nemes (penutup kepala bergaris biru dan emas yang
melambangkan kekuasaan ilahi), dan sandal kulit, sementara rakyat biasa mengenakan
pakaian yang lebih sederhana seperti Kalasiris (gaun
sederhana untuk wanita dan kilt untuk pria). Visualisasi dari Firaun Tutankhamun dan keanggunan Nefertiti dengan mahkota birunya yang khas, menunjukkan
kemewahan dan keagungan yang menjadi representasi mode era ini.
2. Yunani Kuno: Harmoni
dan Proporsi (sekitar 800 SM – 600 M)
Fashion Yunani Kuno menekankan draping yang elegan,
fluiditas, dan penggunaan kain linen atau wol. Pakaian umumnya tidak dijahit,
melainkan dililitkan pada tubuh, menciptakan siluet yang anggun dan mengikuti
bentuk alami. Gaya ini mencerminkan filosofi Yunani tentang harmoni, proporsi,
dan keindahan tubuh manusia. Kebebasan bergerak dan kesederhanaan pakaian
seperti Chiton (tunik yang diikat di bahu dan pinggang), Peplos (pakaian wanita yang lebih berat), dan Himation (mantel besar) menunjukkan idealisme demokrasi
bagi warga negara bebas dan penekanan pada individu. Penggambaran dewi-dewi dalam mitologi Yunani seringkali menunjukkan
keanggunan draping kain yang menjadi inspirasi fashion era ini.
3. Abad Pertengahan:
Status dan Kesalehan (sekitar 500 – 1500 M)
Fashion Abad Pertengahan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial
feodal dan ajaran Gereja. Pakaian menjadi penanda status sosial yang
kuat, dengan kaum bangsawan mengenakan kain mewah seperti sutra, beludru, dan
brokat dengan warna-warna cerah, sementara rakyat jelata mengenakan wol dan
linen kasar. Pakaian yang menutupi seluruh tubuh, terutama untuk wanita,
mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan kesalehan Kristen.
Bentuk kerucut tinggi dan hiasan kepala yang rumit, seperti Hennin yang populer di kalangan wanita bangsawan pada
akhir Abad Pertengahan, menunjukkan prestise dan kekayaan. Ratu Eleanor dari Aquitaine, meskipun tidak ada
gambaran fashion yang detail, dikenal sebagai seorang wanita berpengaruh yang
membentuk tren pada masanya, menunjukkan kekuatan dan pengaruh wanita
bangsawan.
4. Renaisans: Kemewahan
dan Ekspresi Individu (sekitar 1400 – 1600 M)
Era Renaisans ditandai oleh kebangkitan seni, ilmu pengetahuan,
dan humanisme. Fashion mencerminkan kemewahan yang baru ditemukan, siluet yang
lebih terstruktur, dan detail yang rumit. Penggunaan warna-warna cerah, brokat,
dan hiasan permata menjadi sangat populer. Pergeseran ini dari fokus pada
spiritualitas ke apresiasi terhadap pencapaian manusia terlihat jelas. Pakaian
yang lebih bervolume, seperti gaun dengan lengan mengembang
(puffed sleeves) untuk wanita, serta doublet dan hose
yang lebih pas di tubuh pria, mencerminkan kemakmuran dan status sosial yang
meningkat. Ini juga era di mana individu mulai mengekspresikan diri melalui
pilihan pakaian mereka. Ratu Elizabeth I dari Inggris
adalah ikon fashion Renaisans dengan gaun-gaunnya yang rumit, kerah ruff yang
megah, dan perhiasan mewah, melambangkan kekuasaan dan kemegahan kerajaannya,
sementara Keluarga Medici memamerkan kekayaan mereka melalui
pakaian yang mewah.
5. Era Rococo:
Keanggunan dan Permainan (sekitar 1700 – 1789 M)
Fashion Rococo adalah tentang keanggunan, permainan, dan detail
yang sangat rumit. Gaun wanita menjadi sangat lebar dengan rok panier (keranjang), sulaman yang halus, dan warna-warna
pastel. Pria mengenakan jas yang disulam, rompi, dan celana selutut. Era ini
mencerminkan kehidupan aristokrat yang mewah dan hedonistik sebelum Revolusi
Prancis. Pakaian yang tidak praktis menunjukkan bahwa pemakainya tidak perlu
bekerja. Gaya yang berlebihan ini juga menjadi simbol keterasingan kaum
bangsawan dari rakyat jelata. Marie Antoinette,
Ratu Prancis, menjadi ikon gaya Rococo dengan gaun-gaunnya yang ekstravagan,
gaya rambut yang menjulang tinggi (pouf), dan gaya hidupnya yang mewah yang
sangat identik dengan era ini.
6. Era Revolusi dan
Kekaisaran (Neo-Klasik): Kesederhanaan dan Rasionalitas (akhir 1700-an – awal
1800-an)
Dipicu oleh Revolusi Prancis dan idealisme kembali ke
nilai-nilai Yunani dan Romawi kuno, fashion Neo-Klasik menjadi jauh lebih
sederhana. Gaun wanita, yang dikenal sebagai gaun empire,
memiliki siluet tinggi di bawah dada, ringan, dan seringkali berwarna putih,
mirip dengan chiton Yunani. Pria beralih ke setelan yang lebih sederhana dan
praktis. Pergeseran ini melambangkan keinginan untuk kesetaraan, rasionalitas,
dan penolakan terhadap kemewahan berlebihan kaum bangsawan yang telah tumbang.
Pakaian yang lebih ringan dan alami mencerminkan cita-cita pencerahan dan
kebebasan. Josephine Bonaparte, Permaisuri Napoleon Bonaparte,
menjadi trendsetter utama untuk gaun empire yang elegan dan gaya rambut sederhana
yang terinspirasi dari patung-patung klasik.
7. Era Victoria:
Kesopanan dan Kemewahan Tersembunyi (1837 – 1901)
Fashion Victoria dicirikan oleh kesopanan, struktur, dan detail
yang rumit. Gaun wanita sangat bervolume, dengan rok yang didukung oleh crinoline dan kemudian bustle. Korset yang ketat menciptakan pinggang yang sangat
ramping. Pria mengenakan setelan formal, topi tinggi, dan dasi. Pakaian ini
mencerminkan nilai-nilai moralitas yang ketat, kesopanan, dan hierarki sosial
yang jelas di bawah pemerintahan Ratu Victoria.
Pakaian yang rumit dan membutuhkan banyak kain menunjukkan status dan
kemakmuran, sementara korset melambangkan kontrol dan kepatuhan wanita terhadap
norma-norma sosial.
8. Era Roaring Twenties:
Pembebasan dan Keberanian (1920-an)
Setelah Perang Dunia I, terjadi revolusi sosial yang besar.
Fashion 1920-an ditandai oleh siluet lurus pada flapper dress,
pinggang rendah, dan panjang rok yang lebih pendek, di atas lutut. Rambut bob
pendek dan topi cloche menjadi ikonik. Ini adalah era pembebasan
wanita, hak pilih, dan ledakan budaya jazz. Pakaian yang lebih bebas dan tidak
membatasi mencerminkan keinginan wanita untuk bergerak bebas, menari, dan
menikmati hidup setelah masa perang, menjadi penolakan terhadap kekangan era
Victoria. Louise Brooks, aktris film bisu, menjadi ikon gaya
flapper dengan potongan rambut bob khasnya, sementara Coco Chanel merevolusi mode dengan mempopulerkan gaun
hitam kecil dan setelan tweed yang lebih
nyaman.
9. Era New Look:
Femininitas yang Kembali (1940-an Akhir – 1950-an)
Setelah kekangan mode selama Perang Dunia II, Christian Dior memperkenalkan "New Look" pada
tahun 1947. Ini menampilkan pinggang yang sangat ramping, bahu yang lembut, dan
rok yang sangat penuh dan panjang, menggunakan banyak kain. New Look adalah
respons terhadap masa sulit perang, melambangkan kemewahan yang kembali,
optimisme, dan kembalinya femininitas yang lebih tradisional setelah wanita
banyak bekerja di luar rumah selama perang. Ini juga menandai kebangkitan Paris
sebagai pusat mode. Bar Suit ikonik Dior dengan jaket
pas badan dan rok penuh menjadi representasi utama, dan keanggunan Audrey Hepburn di akhir 50-an sering diasosiasikan
dengan siluet elegan yang terinspirasi dari New Look.
10. Era Swinging
Sixties: Revolusi Remaja dan Mod (1960-an)
Tahun 1960-an adalah era revolusi budaya yang dipimpin oleh kaum
muda. Fashion menjadi berani, eksperimental, dan anti-kemapanan. Rok mini yang dipopulerkan oleh Mary Quant, celana bell-bottom, motif
psychedelic, dan warna-warna cerah menjadi populer. Era ini mencerminkan
pemberontakan terhadap norma-norma lama, gerakan hak-hak sipil, kebebasan
berekspresi, dan budaya pop. Fashion menjadi lebih inklusif dan dijangkau oleh
massa, bukan hanya elit. Twiggy, model
Inggris dengan tubuh kurus dan rambut bob pendek, menjadi wajah ikonik dari
"Swinging Sixties."
11. Era Grunge dan
Hip-Hop: Anti-Fashion dan Identitas Subkultur (1990-an)
Tahun 1990-an melihat bangkitnya anti-fashion, terutama melalui
gaya grunge yang menampilkan flanel longgar, jeans robek,
dan sepatu bot militer. Di sisi lain, hip-hop
mempopulerkan pakaian longgar, celana baggy, topi baseball terbalik, dan perhiasan berlebihan (bling). Grunge mencerminkan apatisme, kepuasan terhadap
diri sendiri, dan penolakan terhadap materialisme yang berlebihan pada tahun
1980-an, dengan ikon seperti Kurt Cobain dari
Nirvana. Hip-hop melambangkan identitas komunitas, status, dan ekspresi diri di
tengah masyarakat urban, dengan figur seperti Tupac Shakur dan Salt-N-Pepa membentuk tren. Kedua gaya ini menunjukkan
bagaimana fashion bisa menjadi simbol identitas subkultur.
12. Era Y2K dan Awal
Milenium: Teknologi, Pop, dan Glamour (Akhir 1990-an – Awal 2000-an)
Memasuki milenium baru, fashion dipengaruhi oleh optimisme
terhadap teknologi, budaya pop, dan kebangkitan glamour. Siluet pinggang rendah, atasan crop top, pakaian velour tracksuit, denim bedazzled, dan
aksesori berkilauan menjadi sangat populer. Ini adalah era di mana selebriti
pop seperti Britney Spears dan Destiny's Child
menjadi trendsetter, mendorong gaya yang ceria, terkadang
berani, dan seringkali memperlihatkan kulit. Fashion era Y2K merefleksikan
kegembiraan akan masa depan, konsumsi budaya pop secara masif, dan keinginan
untuk tampil menonjol dengan sentuhan glamour yang mudah
diakses.
13. Era Media Sosial dan
Fast Fashion: Individualitas dan Konsumsi Cepat (2010-an – Sekarang)
Dekade 2010-an hingga saat ini ditandai oleh dominasi media sosial dan fenomena fast fashion. Tren
mode menjadi sangat cepat, didorong oleh influencer dan
platform seperti Instagram dan TikTok. Tidak ada satu siluet dominan;
sebaliknya, fashion menjadi sangat fragmented dan personal.
Gaya athleisure (pakaian olahraga kasual) menjadi sangat
populer, menunjukkan pergeseran ke arah kenyamanan dan kepraktisan. Kebangkitan
minat pada fashion berkelanjutan juga mulai tumbuh sebagai respons
terhadap dampak fast fashion. Tokoh ikonik di era
ini bukan hanya desainer, tetapi juga influencer media
sosial seperti Kylie Jenner atau Bella Hadid, yang gaya pribadinya dapat memengaruhi
jutaan orang secara instan. Era ini melambangkan ekspresi individual yang kuat,
demokratisasi mode melalui media sosial, dan tantangan terhadap konsumsi yang
bertanggung jawab.
Kesimpulan
Dari linen sederhana Mesir Kuno hingga jeans robek era grunge dan tren yang bergerak cepat di era media sosial, fashion selalu menjadi cermin yang merefleksikan nilai-nilai, ambisi, dan revolusi sebuah era. Ia adalah artefak budaya yang hidup, yang terus berevolusi seiring dengan perkembangan masyarakat. Memahami fashion berarti memahami sebagian besar sejarah manusia – bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana kita ingin dilihat, dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Jadi, lain kali kamu mengenakan pakaian, ingatlah bahwa kamu tidak hanya berbusana, tetapi sedang mengenakan sepotong sejarah.