Bicara tentang
sepatu canvas, kamu pasti tidak asing dengan merk Converse. Lebih dari sekadar
alas kaki, Converse telah menjadi simbol pemberontakan, ekspresi diri, dan gaya
timeless. Ia adalah cerminan dari
evolusi budaya pop dari lapangan basket ke panggung konser rock yang bergemuruh.
Dikenal dengan desain yang simpel, Converse telah melampaui fungsinya sebagai alas kaki dan menjadi identitas diri seseorang. Namun, perjalanan merek ini tidaklah instan. Yuk, cari tahu seluk-beluk merk sepatu kanvas legendaris ini!
Sejarah sepatu Converse
dimulai pada tahun 1908, ketika seorang pengusaha visioner bernama Marquis
Mills Converse mendirikan Converse Rubber Shoe Company di Malden,
Massachusetts. Sebuah perusahaan yang berfokus pada produksi sepatu dan berbagai
jenis produk berbahan dasar karet. Kualitas dan durabilitas sepatu karet dari
perusahaan ini menjadi fondasi kokoh bagi reputasi merk Converse di dunia
bisnis.
Hingga akhirnya,
pada tahun 1917 mereka mulai berinovasi menciptakan sepatu basket pertama yang
diberi nama All-Star. Rancangan sepatu ini dibuat sedemikian rupa agar
bisa memberikan traksi serta dukungan fisik bagi para pemain di lapangan.
Berbekal kain kanvas ringan dan sol karet yang fleksibel, Converse All Star
menjadi sebuah inovasi penting dalam perkembangan olahraga basket.
Namun, karena
penjualan berjalan cukup lambat dan jumlah pesaing yang sangat banyak, Converse
mulai mencari sesuatu yang bisa menjadi identitas merk mereka. Dan sesuatu yang
istimewa itu datang dalam bentuk seorang pebasket pria bernama Chuck Taylor.
Masuknya
Pebasket Legend, Chuck H Taylor
Tepatnya tahun 1921,
seorang pemain basket semi-profesional bernama Charles "Chuck" H.
Taylor bergabung dengan perusahaan Converse. Ia tidak hanya direkrut
sebagai agen promosi, melainkan sebagai duta merek yang tiada duanya.
Dengan
kepribadian yang luar biasa dan berbekal pemahaman mendalam tentang olahraga, Chuck
Taylor mulai menjalankan misinya dengan berkeliling Amerika Serikat. Tidak
hanya “menjual”, Chuck Taylor juga mengadakan klinik basket, mengajar
keterampilan basket pada anak-anak remaja dan pelatih, sekaligus mempromosikan
olahraga itu sendiri. Ia pun mengenakan dan mempromosikan sepatu All-Star di
setiap kesempatan berlaga.
Lebih dari
sekadar brand, Chuck Taylor memberikan masukan berharga yang datang langsung
dari pengalamannya di lapangan. Berkat sarannya, Converse menambahkan penopang
pergelangan kaki yang lebih baik dan lingkaran lubang ventilasi di bagian
samping, yang meningkatkan kenyamanan dan sirkulasi udara.
Karena
kontribusinya yang tak ternilai, pada tahun 1932, Converse memberikan
penghormatan tertinggi: tanda tangan Chuck Taylor ditambahkan pada logo bintang
ikonik di pergelangan kaki sepatu. Dengan demikian, sepatu ini resmi dinamai Chuck
Taylor All-Star.
Dengan branding nama
Chuck Taylor, Converse All-Star sukses mendominasi lapangan basket dann menjadi
pilihan wajib bagi para professional selama beberapa dekade. Pengaruhnya di
dunia olahraga benar-benar tak terbantahkan. Dari tahun 1936 hingga 1968, tim
basket nasional AS di Olimpiade secara eksklusif mengenakan Converse. Hingga
tahun 1960-an, diperkirakan hampir 90% pemain basket profesional di Amerika
menggunakan sepatu ini.
Bahkan ia dipilih
sebagai sepatu resmi untuk pelatihan militer tentara AS yang mengukuhkan
citranya sebagai alas kaki yang kokoh dan andal. Desainnya yang simpel,
fungsional, dan inovatif menjadikannya standar emas untuk sepatu basket. Namun,
seperti semua dinasti, kejayaan sepatu ini memiliki batas masa
Memasuki era
1970-an, dominasi Converse di lapangan basket mulai memudar. Terutama setelah merek-merek
pesaing seperti Nike dan Adidas merilis sepatu basket berteknologi
canggih dengan sol bantalan udara dan material yang lebih ringan. Para pemain
profesional pun mulai beralih ke sepatu-sepatu tersebut karena menawarkan
performa yang lebih baik.
Namun, setelah kehilangan
tempat di lapangan, Converse All-Star justru menemukan takdir baru di luar
arena. Dimana ia mulai diadopsi oleh berbagai subkultur, mulai dari musisi rock,
punk, dan grunge. Dua tokoh ikonik dari aliran music ini, Ramones
dan Kurt Cobain sering memperlihatkan gaya ikonik mengenakan Chuck
Taylor di atas panggung mereka.
Kesederhanaan,
harga yang terjangkau, dan ketahanan luar biasa dari kain kanvas menjadikannya
sebagai media sempurna untuk melawan arus mode utama. Sepatu ini mewakili
sikap, identitas, dan ekspresi diri para seniman, musisi, dan skater. Sepatu Converse
menjadi simbol pemberontakan dan gaya otentik, jauh dari citra sepatu atletik
yang mahal dan komersial.
Terlepas dari
gaya ikoniknya, perusahaan Converse sempat mengalami kesulitan finansial akibat
manajemen yang kurang baik serta persaingan ketat. Bahkan pada tahun 2001,
perusahaan tersebut telah mengajukan kebangkrutan. Tapi, lagi-lagi Converse
masih terselamatkan.
Tepat dua tahun berselang,
raksasa olahraga Nike mengakuisisi Converse senilai $305 juta. Di bawah
naungan Nike, Converse tidak lagi diasoasikan sebagai merek sepatu atletik,
melainkan gaya hidup atau style. Memanfaatkan kekayaan sejarah dan identitasnya
yang kuat, Nike membangun Converse dengan strategi baru.
Ttanpa mengubah desain
klasik, Nika menciptakan inovasi-inovasi modern. Salah satunya yaitu teknologi
sol Lunarlon pada seri Chuck Taylor All-Star II yang lebih membuat
pijakannya terasa lebih nyaman. Mereka juga meluncurkan koleksi istimewa dari
kolaborasi desainer, seniman, hingga brand fesyen terkemuka guna memperluas
daya tarik Converse ke pasar global.
Converse menggambarkan
sebuah perjalanannya yang luar biasa, dari lapangan basket ke panggung konser,
dari seragam militer ke jalanan kota menjadikannya simbol budaya pop yang
melampaui tren. Hingga saat ini, Converse Chuck Taylor All-Star tetap jadi salah
satu merk sepatu terlaris dan paling dicintai di dunia. Apakah kamu salah satu
dari pecinta merk sepatu Converse?