BULETIN TEKSTIL.COM – Dalam sejarah
pakaian tradisional Indonesia, penggunaan penutup kepala menjadi satu bagian yang
penting untuk melengkapi penampilan kostum tradisional. Salah satu jenis penutup
kepala tradisional yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia adalah tengkuluk
atau kuluk yang berasal dari provinsi Jambi.
Menurut sejarahnya, tengkuluk sudah digunakan oleh masayarakat Melayu Jambi sejak abad ke 7 sebelum masuknya agama Islam di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai jenis tengkuluh untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Namun sayangnya, sejalan dengan modernisasi yang terus berkelanjutan penggunaan tengkuluk kini semakin ditinggalkan. Masyarakat Indonesia mulai terpengaruh oleh budaya asing dan lebih memilih menggunakan topi dan berbagai penutup kepala yang lebih modern.
Penggunaan tengkuluk modern
Alasan itulah yang memunculkan gagasan organisasi Barisan Masyarakat Antu Kekerasan (Baskara) untuk menyelenggarakan webinar berjudul “The Exotic of Traditional Wear” pada tanggal 25 Februari 2021. Organisasi Baskara juga turut mengundang pembicara Dr. Sativa Sutan Aswar, yang kerap dipanggil Atitje Arryman, seorang Sosiolog dan Pemerhati Budaya Indonesia. Beliau merupakan salah satu pakar wastra Indonesia yang meraih gelar sarjana di bidang Desain Tekstil, Fakultas Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, dan meraih gelar doktor di bidang Sejarah dan Kebudayaan, Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS) di Paris, Perancis.
Keprihatinan Atitje Arryman terhadap
budaya pakaian tradisional Indonesia yang semakin menghilang membuatnya
mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk membina dan mengembangkan para
pengrajin di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Sumatera Barat, Jambi,
Bali dan Nusa Tenggara Barat. Beliau juga tidak segan-segan mengeluarkan dana
pribadinya demi membina para pengrajin yang kini telah berjumlah ratusan
tersebut.
Paparan webinar dimulai dengan penjelasan masuknya pengaruh Tiongkok terhadap kebudayaan kerajaan Sriwijaya yang ditulis oleh Yi Jing, seorang biksu Tiongkok yang melakukan perjalanan ke Sriwijaya dan India untuk mempelajari agama Buddha. Pada jaman kejayaannya, kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pendidikan agama Buddha internasional. Banyak biksu dan saudagar dari Tiongkok yang datang ke Sriwijaya dengan membawa dan memperkenalkan kebudayaan mereka ke negara-negara yang disinggahinya. Penutup kepala tengkuluk merupakan salah satu hasil pengaruh kebudayaan Tiongkok yang diadaptasi di negara-negara Asia. Tak heran jika terdapat banyak kemiripan bentuk dan penggunaan tengkuluk dengan penutup kepala suku-suku tradisional di Asia seperti di Vietnam, Thailand, dan sebagainya. Atitje Arryman menyebutkan bahwa di pulau Sumatera terdapat sedikitnya 500 macam penutup kepala untuk perempuan. Sedangkan di provinsi Jambi ada kurang lebih 98 jenis tengkuluk dengan fungsinya masing-masing.
Perbedaan jenis tengkuluk
sebenarnya hanya terletak di warna kain dan cara lilitannya. Dibuat dari kain
panjang atau selendang yang panjangnya 2 meter atau lebih. Tengkuluk dililitkan
di kepala dengan berbagai variasi gaya yang mencerminkan pemakainya. Ada
berbagai ketentuan untuk lilitan-lilitan tersebut. Juntaian kain di sebelah
kiri mencerminkan kalau perempuan yang menggunakannya masih gadis, sedangkan juntaian
kain di sebelah kanan mencerminkan kalau perempuan tersebut telah bersuami.
Menurut Atitje Arryman, hanya perempuan di daerah pesisir Sumatera yaitu Padang
yang menggunakan sunting dan selebihnya menggunakan tengkuluk.
Setelah puluhan tahun melakukan penelitian dan pembinaan kepada para pengrajin kain tradisional, Atitje Arryman menyadari bahwa salah satu penyebab makin berkurangnya penggunaan baju tradisional di masa kini adalah harga kain tradisional yang dirasa terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau masyarakat banyak. Oleh karena itu beliau berusaha mencari cara untuk menurunkan biaya produksi kain-kain tradisional tersebut agar harganya terjangkau oleh lebih banyak kalangan sehingga dapat digunakan untuk acara sehari-hari. Kesulitan dalam pemakaian juga merupakan salah satu alasan utama mengapa pakaian atau kain tradisional makin kurang diminati. Karena cara pemakaiannya yang dirasa kurang praktis, beliau pun mencoba untuk memodifikasi berbagai pakaian tradisional sehingga lebih mudah untuk digunakan.
Pakaian adat Minang (kiri) dan pakaian adat Tiongkok (kanan)
Atitje Arryman berusaha untuk
mensosialisasikan kembali penggunaan baju tradisional yang sudah banyak
ditinggalkan melalui kerja samanya dengan pemerintah daerah dan instansi-instansi
terkait. Selain itu, para pengrajin binaan beliau kini dibiasakan untuk selalu
menggunakan tengkuluk dan baju tradisional serta mengajak masyarakat di sekitar
daerah tersebut untuk mulai menggunakan kembali pakaian tradisional yang telah
diadaptasi menjadi lebih modern dan praktis. Dengan adanya kebijakan ini
diharapkan kebiasaan penggunaan baju tradisional akan lebih berkembang dan semakin
meluas.
Beruntung di Indonesia masih ada
pemerhati budaya yang rela mendedikasikan hampir seluruh waktu dan tenaganya
untuk melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia seperti Atitje Arryman.
Semoga di masa depan akan lebih banyak lagi pemerhati budaya Indonesia yang
dapat membantu melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia yang adi luhung.