Sebagai negara berkembang, industri
tekstil dan pakaian jadi menjadi sektor penopang perekonomian negara. Industri padat
karya ini menyerap tenaga kerja sejumlah 2,67 persen dan menduduki posisi kedua
terbesar di Indonesia. Upaya pengembangan sektor tekstil pun terus dikaji, mulai
dari peningkatkan daya saing melalui program Making Indonesia 4.0.
Dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri tekstil dan pakaian jadi diharapkan masuk dalam kategori 5 besar manufaktur tekstil dunia dan spesialisasi produksi pakaian fungsional pada tahun 2030. Sayangnya, kondisi pandemi Covid-19 menimbulkan penurunan kinerja industri tekstil sehingga program tersebut belum berhasil direalisasikan.
Selain itu, industri tekstil dan pakaian
jadi juga masih dibayangi sejumlah permasalahan, diantaranya yaitu:
Berdasarkan peta Making Indonesia
4.0, sektor industri lebih difokuskan untuk memperkuat kapasitas produksi sisi
hulu. Meskipun industri ini telah mengintegrasikan sektor hulu dan hilirnya, tapi
hingga saat ini ada beberapa faktor yang menghambat kinerja dan produktivitas.
1.
Tingginya angka impor bahan baku
Sampai detik ini, industri tekstil Indonesia masih mengimpor
kapas dan bahan baku serat buatan lainnya. Hampir 100% bahan baku kapas sangat
tergantung pada produk impor. Permasalahan tersebut beresiko meningkatkan biaya
produksi, dampaknya harga produk terlampau tinggi.
Dibutuhkan pembenahan dan peningkatan produktivitas
bahan baku atau memberikan keringanan PPN guna mengurangi biaya produksi.
2.
Rendahnya daya tarik investasi
Tahun 2025 kebutuhan polyester bisa mencapai 500 ribu ton, namun kapasitas produksi sektor tekstil saat ini hanya di sekitar 300 ribu ton. Sehingga diperlukan investasi untuk mengantisipasi selisih produksi tetapi muncul permasalahan lain yaitu rendahnya daya tarik investasi.
Salah satu alasannya yaitu tidak adanya kepastian
imbal hasil. Sebab dalam pembangunan pabrik baru, investor sangat memperhatikan
kepastian imbal hasil dalam kurun waktu 10 tahun. Ketergantungan impor bahan
baku industri tekstil Indonesia membuat para investor khawatir produksi bahan
baku kalah saing dengan produk impor di sisi hilir.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan pengendalian impor
dan kepastian imbal hasil. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan daya tarik
investasi untuk pembangunan pabrik baru.
3.
Melambungnya biaya energi di Industri tekstik
dan pakaian jadi
Rata-rata biaya energi untuk kebutuhan produksi yaitu
sebesar USD 10sen/kwh. Harga ini tergolong tinggi dibandingkan biaya listrik di
Vietnam (USD7 sen/kwh) dan Bangladesh (USD6 sen/kwh). Sedangkan alternatif pembangkit
listrik kini sulit dilakukan karena rendahnya pasokan dan harga batubara yang
mahal. Padahal penggunaan energi altenatif bisa menekan biaya energi sampai USD7
dan USD8 sen/kwh.
Ditambah lagi wacana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
untuk pelanggan listrik diatas 3.000 VA yang biasanya tanpa disertai
peningkatan kualitas. Dalam kurun sebulan rata-rata terjadi 5 kali trip dengan
rentan waktu 1-5 menit. Hal tersebut sangat mengganggu produktivitas dan menyiksa
industri tekstil yang hingga kini masih berjuang untuk pulih usai pandemi.
4.
Penggunaan mesin tua yang berdaya produksi rendah
Menurut data API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia),
sebanyak 70% mesin produksi adalah mesin tua dengan produktvitas rendah. Biasanya
butuh waktu 10 hari hanya untuk membuat sampel kain, padahal proses ini bisa diselesaikan
dalam waktu 2 hari menggunakan mesin terbaru.
Mesin tua juga berpotensi menurunkan efisiensi produksi
hingga 50% dari kemampuan operasionalnya. Kurangnya produktivitas sangat
berdampak pada hilir industri tekstil dan harga produknya. Bahkan jika
dihitung-hitung, garmen yang diimpor dari China dan Korea Selatan jatuhnya
justru lebih murah dari produk lokal meski terkena biaya logistik dan cukai.
Penggunaan mesin terbarukan ini bisa dilakukan melalui
program restrukturisasi mesin dan meningkatkan insentif. Seperti memberikan
keringanan pajak atau bea masuk impor mesin baru.
5.
Kemudahan impor mengancam pasar domestik
Penurunan kinerja industri tekstil dan garmen juga
disebabkan oleh perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 tahun 2017 yang
mengatur fasilitasi impor. Awalnya impor bahan baku TPT hanya bisa dilakukan pihak
importir dengan API-P (Angka Pengenal Importir Produsen). Sekarang pedagang
dengan API-U (Angka Pengenal Importir Umum) bebas melakukan impor.
Akan tetapi ketentuannya masih sama dan belum mencakup
masukan dari para pelaku industri.
6.
Resiko perdagangan komoditi tekstil dan produk tekstil
yang tinggi
Industri tekstil Indonesia sangat rentan dan berisiko dikenakan kebijakan trade remedies atau instrimen pengamanan perdagangan oleh mitra negara lain. Ada wacana pengenaan instrumen trade remedies seperti Bea Masuk AntiDumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) dari negara mitra.
Namun sampai bulan Maret 2022 diantara 8 (delapan) instrumen pengamanan yang diterapkan oleh negara mitra hanya ada 5 (lima) di antaranya baru diinisiasi pada awal tahun 2022. Intinya, industri tekstil sangat memerlukan pelindungan dan pengendalian perdagangan seperti negara-negara lain.
Ditengah berbagai tantangan tersebut, industri tekstil terus berupaya mencari solusi untuk bangkit dari keterpurukan dan memperkuat perekonomian Indonesia. Tetapi langkah ini tak akan terwujud tanpa integrasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Baik dari lingkup pemerintahan serta masyarakat Indonesia.