Digitalisasi
berhasil menyentuh Indonesia tidak luput dari pengaruh dunia digital dalam
kehidupan sehari-hari. Kondisi pandemi juga membuat ledakan pengguna internet
nasional, dimana pengguna internet Indonesia naik menjadi 73,3 persen,
setidaknya ada 37 persen pengguna baru internet, transaksi e-commerce naik
hingga 2,1 kali lipat, bahkan pola konsumsi berita juga berubah dimana 89
persen berita diakses melalui online.
Penggunaan
internet yang tinggi berpengaruh pada lapangan kerja untuk mengisi kebutuhan
manusia. Disinyalir dari Glints, hingga November 2021, sudah ada 2.308 startup
yang berdiri di Indonesia, terdapat satu startup decacorn (bervaluasi di atas
USD10 miliar) dan 8 startup unicorn (bervaluasi USD1 miliar). Mendukung
pernyataan tersebut, BPS mencatat data bahwa per Agustus 2020, jumlah
freelancer mencapai 33,34 juta, naik sekitar 26 persen dari tahun 2019.
Di sisi lain, tahun 2019 Survei McKinsey menyatakan akan tercipta banyak lapangan pekerjaan baru akibat tren digitalisasi di Indonesia hingga 2030. Setidaknya ada 27-46 juta lapangan pekerjaan yang tercipta, di antaranya terdapat 10 juta pekerjaan jenis baru yang muncul.
Setidaknya
Indonesia membutuhkan sebanyak 9 juta pekerja digital pada tahun 2030. Dari
perubahan budaya kerja di atas, kemudian muncul kebutuhan regulasi untuk jam
kerja, pola perjanjian kerja, jaminan kesejahteraan pegawai lepas, regulasi
SDM, dan regulasi pendukung lain. Namun, regulasi dan program pemerintah saat
ini belum dirasa menyeluruh dan mendukung dunia digital.
Hal ini terlihat
dari belum adanya regulasi yang secara khusus menyasar pada pekerja digital.
Bahkan, pemerintah belum benar-benar mengklasifikasikan pekerja digital.
Contohnya, seperti pekerja seperti ojek online dan pekerja jasa sejenis dalam
aplikasi digital dan apakah mereka termasuk buruh/pegawai ataukah mitra usaha. Belum
jelasnya posisi mereka dalam industri dan perusahaan akan menyulitkan penentuan
hak-hak mereka ke depan. Di sisi lain, UU tentang Cipta Kerja terlihat
memudahkan penyerapan tenaga kerja asing.
Hal ini terlihat dari kemudahan syarat tenaga asing bekerja di Indonesia. Padahal, INDEF mencatat bahwa ketersediaan lulusan teknologi informatika di Indonesia mencapai 50 ribu hingga 70 ribu per tahun. Selain perihal jumlah dan penyerapan SDM, kualitas SDM juga penting untuk jadi sorotan. Masalah ini tergambar dari hasil survei yang menjadi bagian dari laporan EVDCI 2022, mayoritas perusahaan startup masih kesulitan mendapatkan kandidat pegawai digital yang mumpuni.
Dari sudut
pandang program pemerintah, khususnya dari Kemnaker, juga masih dirasa
old-fashioned. Belum ada satupun program Kemnaker yang khusus mengembangkan dan
meningkatkan kompetensi pekerjaan digital. Bahkan program untuk bidang kreatif
masih seputar pekerjaan tradisional, seperti memproduksi barang jadi dan
melakukan penjualan melalui teknologi rendah (Laporan Tahunan Kemenaker, 2020).
Padahal jika
terjadi PHK, pekerja dapat meningkatkan kompetensi mereka program pemerintah,
namun program peningkatan kompetensi dunia digital belum tersedia. Jika pekerja
digital tidak langsung diserap, maka transisi akan lambat dan berpengaruh pada
tingkat pengangguran. Permasalahan lain timbul dari dukungan pemerintah
terhadap pengusaha di dunia digital, dimana regulasi perlindungan data dan hal
terkait lainnya belum menyeluruh.
Kominfo, dalam
publikasi mereka yang berjudul “Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia”,
menyatakan ada 4 industri penting dalam perkembangan dunia digital, yaitu
sektor finansial, pertanian, argologistik, dan sektor kebudayaan, pariwisata,
dan kreatif. Dibutuhkan suatu strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah
untuk menyiapkan kebijakan yang dapat mengantisipasi atau meminimalisir
ketimpangan yang mungkin terjadi. Pemerintah juga perlu memberikan dukungan
serta regulasi agar penggiat dunia digital mendapat kemudahan dan keamanan
untuk berkembang. Dengan asumsi, jika pengusaha digital didukung pemerintah,
maka akan mempermudah penyerapan tenaga kerja.