Industri tekstil masih dalam fase
pemulihan, tapi menjelang akhir tahun 2022 sektor penyumbang devisa terbesar
Indonesia ini diterpa badai PHK. Persatuan Pengusaha Tekstil Jawa Barat
(PPTPJB) melaporkan sejak 2 pekan lalu, sebanyak 124 perusahaan yang tersebar
di 14 kabupaten dan kota di Jawa Barat melakukan pemberhentian hubungan kerja
(PHK) terhadap 64.000 pekerjanya.
Ketua umum PPTPJB, Yan Mei
mengungkapkan bahwa kondisi tersebut jauh lebih parah dibandingkan Covid-19.
“Situasi ini lebih parah dari Covid-19. Selama Covid-19, kami hanya tidak bisa mengirim tetapi kami memiliki pasar. Sedangkan saat ini pasar tidak bisa diprediksi,” kata Yan Mei dalam konferensi pers virtual yang berlangsung pada Rabu, 2 November 2022.
PHK terjadi karena penurunan daya
beli konsumen, terutama di negara tujuan ekspor terbesar seperti Amerika
Serikat dan Eropa.
Yan Mei mengatakan, di pabriknya
terjadi penurunan pesanan hingga 50 persen sejak April 2022. Keadaan jadi
semakin sulit pada bulan-bulan berikutnya, dimana orderan yang masuk mengalami
penurunan hingga 70 persen.
Sampai detik ini, 18 perusahaan
tekstil gulung tikar dan mengakibatkan 9.500 karyawan di-PHK. Angka tersebut
kemungkinan akan terus bertambah seiring masuknya laporan baru.
Situasi geopolitik antara Rusia
dan Ukraina yang tak bisa diprediksi juga menjadi penyebab gangguan logistik
pada pasokan pangan internasional. Hal tersebut membuat harga pangan melonjak
sehingga masyarakat memprioritaskan belanja makanan ketimbang membeli produk
tekstil.
Yan Mei berharap pemerintah bisa menghadapi persoalan ini dengan kepala dingin melalui pemberian tunjangan BPJS atau jalan lainnya. Ia juga berharap pemerintah bisa mencarikan solusi terbaik dan membuat kebijakan khusus supaya industri TPT tetap aman.
Sumber: www.inews.id
Jika inflasi pangan tidak
terkendali, Yan khawatir penurunan daya beli makin tajam dan perusahaan akan
semakin kesulitan dalam menjalankan proses produksinya. Akhirnya, karyawan lah
yang jadi korban dan jumlah PHK pun terus bertambah.
Penurunan ekspor turut menimpa perusahaan-perusahaan
besar seperti Nike, dan Victoria Secret dengan angka penurunan mencapai 40-50
persen.
Disisi lain, Danang
Girindrawardana selaku Ketua Bidang Kebijakan Publik di Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) mengaku belum bisa menjelaskan total jumlah karyawan yang
di-PHK.
“Kami masih menunggu data jumlah
(karyawan yang terkena PHK) dari anggota Apindo dan asosiasi terkait,” kata
Danang.
Namun, Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membantah isu PHK 45.000 pekerja pabrik
tekstil, garmen, sepatu, dan otomotif. Problema tersebut berkaitan dengan
ancaman resesi tahun 2023 dan berpotensi melahirkan 'Pengusaha kulit hitam' yang
menggunakan resesi sebagai alasan tidak menaikkan upah.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri
Mulyani Indrawati mengaku kinerja ekspor Indonesia sangat dipengaruhi gejolak
ekonomi global. Oleh sebab itu, penurunan permintaan produk ekspor bisa berdampak
pada PHK pekerja industri TPT.
“Manufaktur kami masih di atas zona ekspansi, meskipun lebih rendah dari bulan September. Kami perkirakan dari sisi permintaan ekspor, akan ada dampak dengan kemungkinan pelemahan di negara maju,” ujar Menkeu.
Pelemahan ekspor juga tercatat
dari data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di
level 51,8 pada Oktober 2022. Meskipun angka di atas mengindikasikan bahwa
sektor manufaktur masih dalam fase ekspansi, tapi nilainya mengalami penurunan dibandingkan
bulan September yaitu sebesar 53,7.
Pemerintah pun berupaya mendorong
belanja negara pada triwulan IV untuk meningkatkan permintaan
domestik. Namun, dia tidak menyangkal bahwa turunnya permintaan luar negeri
dapat tersubstitusi penuh dengan permintaan dalam negeri.
“Namun, kami akan memberikan
kompensasi untuk permintaan yang tidak dapat diganti. Kami akan terus
melihat dari semua sektor tersebut untuk kemudian kebijakan apa yang perlu
dirumuskan lebih lanjut untuk merespon tren global,” jelas Sri Mulyani.
Terlebih lagi, belanja negara hingga
September 2022 baru mencapai Rp. 1.913,9 triliun atau 61,6% dari alokasi
anggaran.
Menkeu mengungkap kebijakan
fiskal memang ditujukan untuk membelanjakan uang negara sesuai alokasi yang
telah ditetapkan. Harapannya langkah ini dapat mendukung permintaan domestik ditengah
pelemahan permintaan ekonomi global.
“Adanya inflasi yang tinggi dan nilai tukar yang menguat tentunya juga akan menyebabkan perubahan kinerja ekonomi di Eropa, Amerika, dan China,” jelas Sri Mulyani.