Jauh sebelum mengenal Batik pada budaya
Jawa dikenal sebagai penanda status sosial sejak abad ke 6 atau mungkin lebih
awal. Kain batik menjadi busana khusus untuk raja, bangsawan, kaum
brahmana maupun orang-orang penting yang diberi penghargaan oleh raja.
Selain itu, berikut fakta dan
kegunaan kain pada awal perkembangannya di Pulau Jawa:
1.
Kain sebagai hadiah atau anugerah
Para arkeolog mempelajari prasasti yang berkenaan
dengan sima atau daerah yang diberikan pembebasan pajak.
Dalam prasasti tersebut tertulis bahwa kain hampir selalu menjadi hadiah dari
pejabat kerajaan pada kepala wilayah sebagai simbolisasi anugerah. Artinya
dengan wastra tersebut, maka pangkat dan derajat seseorang telah sehingga dia
diperkenankan memakainya.
2.
Penanda status sosial
Beberapa prasasti menyebutkan larangan dalam mengenakan jenis kain dan warna-warna tertentu. Dari situ bisa ditarik kesimpulan jika budaya Jawa kuno sudah muncul diskriminasi dalam bentuk aturan berbusana. Prasasti itu juga tertulis mengenai perbedaan kain atau wastra yang digunakan masyarakat biasa dengan kain untuk bahan pakaian pada pejabat, bangsawan, dan raja.
Dari prasasti
abad ke-6 Masehi atau lebih awal, digambarkan bahwa masyarakat Jawa telah menyiratkan
ciri busana berdasarkan status sosialnya. Hal itu tersirat pada relief-relief
candi yang dibuat di era tersebut.
3.
Pakaian menjadi perhiasan tubuh
Secara umum, fungsi berpakaian adalah menutupi dan
melindungi diri. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang berstatus sosial lebih
tinggi, busana merupakan cara untuk menghias tubuh.
Pada sebuah prasasti, kaum brahmana maupun pendeta
digambarkan memakai jubah dari kain katun polos dengan bahu kanan terbuka yang
disebut sinhel.
4.
Pria dan wanita zaman dulu tidak memakai penutup
dada
Pria maupun wanita di era itu hanya mengenakan penutup
bagian bawah tubuh, berupa kain panjang berbahan katun. Mereka tidak ada yang menggunakan
baju atau kain penutup dada. Rambut pun dibiarkan tergerai.
Tetapi golongan bangsawan dan raja menutup bagian atas tubuh dengan kain tipis dalam bentuk selendang dihiasi gambar bunga. Mereka juga mengenakan ikat pinggang dan anting-anting emas. Perempuan muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan melilitkan ikat pinggang aksen hias berupa sulaman.
Jika dilakukan pengamatan secara lebih spesifik, jenis kain yang dipakai menunjukkan identitas sosial. Dikutip dari buku berjudul “Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit akhir” (2011) karya Supratikno Rahardjo, “berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki disebut Wdihan. Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken”.
Disebutkan juga bahwa beberapa
jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. kain yang masuk dalam jenis Wdihan adalah
nama-nama sebagai berikut:
1.
Prasasti Rukam 829 saka (907 M) disebutkan kain
jenis ganjar patra (lihat Wdihan nomor 5), diberikan oleh raja kepada Rakaryan
Mapatih i hino, yaitu gelar untuk putra sulung raja.
2.
Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka (872
M) Wdihan ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja.
Catatan sejarah mengenai tekstil
Nusantara pada awal abad masehi didapat dari beberapa sumber seperti Berita
Cina, (Nusantara dalam Catatan Tionghoa – W.P. Groeneveldt. Selain itu juga
hasil penelitian para arkeolog serta pembaca prasasti (epigraf), karya sastra
kuno dalam bentuk tembang, babat yang saya rangkum dalam tulisan ini.
Wastra adalah sebutan untuk kain
atau busana berstrata tinggi bagi raja, brahmana serta orang-orang tertentu.
Sedangkan kain di kalangan bawah ada yang dibuat dari kulit kayu berbentuk daluwang
atau kertas. Teknik pembuatan kain tenun yaitu anyaman lawe atau benang pintal
tangan berbahan serat kapas yang diproses menggunakan alat tenun tangan (hand
loom).
Berdasarkan naskah Berita Cina, awal
masehi di Jawa sudah ada pedagang pikulan yang menjual lawe (benang dari serat kapas),
kain tenun dan sombo alias bahan pewarna. Ada pula barang dagangan berupa kain
putih, kain berwarna hitam, biru, kuning dan hijau, serta kain motif lurik. Ada
pengusaha dan pedagang kain, bahkan pemungutan pajak oleh pejabat pemerintah.
Beberapa prasasti bahkan menyebut nama jabatan para pemungut pajak. Artinya skala usaha itu sudah cukup besar dan diperdagangkan secara luas, bukan hanya membuat untuk keperluan sendiri. Dari arca atau pahatan, diketahui adanya kain-kain bermotif.
Berikut kutipkan tulisan Siti
Maziyah, bahwa berdasarkan prasasti dan susastra dikenal beberapa kain
bermotif, yaitu:
Prasasti Juruhan tahun 876 Masehi
menyebutkan: “Mpu Manusi sebagai Rakarayan Pagarwsi mendapat
hadiah beberapa kain, diantaranya dalam bentuk emas, yaitu sepasang wdihan
buatan kling berwarna putih, wdihan ganjar patra satu
pasang, wdihan lungar, dan kain buatan waitan dibayarkan
dalam bentuk emas seberat 8 mӑsa”.
Pada Pararaton, Raden Wijaya
membagi pakaian motif gringsing pada Sora, Rangga Lawe,
Dangdi dan Gajah, yang telah berperang mati-matian melawan tentara Daha.
Pupuh 56 menyebutkan adanya kain
motif ranga dengan hiasan bunga-bunga khas yang diberikan
pada tantri Kamandaka.
Diperkirakan wdihan buatan
kling merupakan kain yang diperoleh dari pedagang India (Kling = Kalingga=
India Selatan), pedagang Gujarat masuk Jawa pada abad ke 7. Bukti lain juga menyebut
jika nama ‘Keling’ merujuk pada desa kuno di daerah Kepung, Kediri.
Sedangkan kain buatan waitan adalah
wetan atau sebelah timur pulau Jawa, yaitu Lombok, Bima (Sumbawa), Tanjung Bira
(Sulawesi Selatan). Dari prasasti abad ke-9 hingga abad ke-15 yang di tulis
oleh Siti Maziyah, kain disebutkan sesuai fungsi atau pemakaiannya dalam masyarakat
Jawa antara lain:
1.
Wdihan, kain untuk laki-laki
2.
Ken/ Kahin/ Kain, kain untuk
perempuan
3.
Tapih, Sinjang, bahasa Jawa strata
yang lebih tinggi untuk busana bawahan perempuan
4.
Lancingan, Kancut, kain untuk
laki-laki yang dibelitkan di pinggang dan selangkangan.
5.
Sruwal, busana bawahan pria
Dari ulasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa sebelum abad ke 10 Masehi sudah ada teknologi menenun, mewarnai
dan menghias kain yang diduga menjadi awal teknik membatik. Beberapa nama kain
sudah terukir pada prasasti dan susastra, sedangkan gambaran motifnya tertuang
dalam relief dan arca. Motif kain yang disebut wastra dikenal sebagai adi
busana yaitu kain mewah atau kain sakral.
Perkiraan masuknya kain impor bisa
dipelajari dari Rute Perdagangan Maritim awal Masehi sampai abad ke 6. Sejak awal Masehi hingga abad ke 15, sudah
terdapat kain-kain buatan negara lain yang berkembang mempengaruhi teknik
pembuatan kain di Jawa.
Ditandai dengan masuknya kain tenun
Patola dengan motif yang di adaptasi dari panel-panel candi dari pedagang
Gujarat. Nama Patola dikenal sebagai kain Cinday, kemudian motifnya diadaptasi
menjadi motif batik Nitik dan Jlamprang. Sedangkan kain sutera Cina yang masuk
ke Jawa pada awal Masehi berupa kain sutera polos hingga kain dengan sulaman
dua muka.
Orang Jawa belajar tentang sutera dari bangsa Cina, sementara masyarakat Cina belajar tentang kain kapas dari orang Jawa.