Lipa sabbe adalah sarung khas suku
Bugis, Sulawesi Selatan. Kain ini terkenal hingga ke kancah internasional
karena memiliki corak khas serta karakteristik kain yang halus dan lembut. Kain
Lipa Sabbe bisa dipakai oleh kaum laki-laki maupun wanita Bugis di acara
pernikahan, aqiqah hingga acara keagamaan.
Pria bugis biasanya memakai Lipa
Sabbe bersama atasan jas tutup dan songkok recca'. Sedangkan wanita
memadukannya dengan atasan khas Bugis yaitu baju Bodo. Lipa' sabbe pun dianggap
sebagai kain istimewa yang mempunyai nilai-nilai tersendiri dalam masyarakat
Bugis.
Lantas, apa yang membuat sarung
ini bergitu istimewa? Simak faktanya berikut ini, yuk!
Lipa sabbe menyimpan kisah panjang serta makan budaya yang mendalam, khususnya di daerah Bone, Wajo dan Soppeng. Dari namanya saja sudah menggambarkan seberapa istimewanya kain ini. Dalam bahasa Bugis, istilah “Lipa’” berarti sarung sedangkan “Sabbe” artinya sutra. Yaps, sarung ini memang dibuat dari serat sutra, sang ratunya serat tekstil yang terkenal akan kilau indahnya.
Sarung
tradisional khas masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan ini mencerminkan kearifan
lokal suku Bugis. Dimana setiap motifnya tersimpan makna yang mendalam.
Sejarah lipa'
sabbe dimulai sejak masa kerajaan Bugis sebagai penanda status sosial
seseorang. Sehingga lebih sering digunakan untuk kaum bangsawan dan tokoh-tokoh
penting kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu dan pupularitasnya, lipa'
sabbe kian merakyat dan bebas digunakan oleh siapapun dari kalangan masyarakat
Bugis. Lipa sabbe pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
Selain kilau
permukaan kainnya, kain lipa sabbe juga begitu istimewa karena corak unik dan
maknanya yang mendalam. Penggunaannya tidak boleh sembarangan dan harus
disesuaikan dengan arti dari setiap motifnya.
Berikut
beberapa motif sarung lipa sabbe beserta maknanya:
·
Motif Balo Renni, berupa garis vertikal dan
horizontal membentuk kotak-kotak kecil dengan warna lembut. Diperuntukkan bagi wanita
Bugis yang belum menikah.
·
Motif Balo Lobang, dengan corak kotak-kotak besar
dan warna lembut yang tegas. Dipakai oleh laki-laki Bugis yang belum menikah.
·
Motif Bombang, berupa deretan corak segitiga
sama sisi yang berjejer atau zigzag. Sifatnya netral, menggambarkan jiwa pelaut
masyarakat Bugis.
·
Motif Cobo’ hampir mirip Bombang, tapi menggunakan
segitiga sama kaki. Biasanya dipakai saat acara lamaran sebagai tanda keteguhan
hati pria.
·
Motif Balo Tettong yaitu garis lurus vertikal
atau horizontal yang menggambarkan keteguhan dan ketenangan.
·
Motif Makkalu, bercorak garis-garis, horizontal,
atau melingkar. Maknanya sering dihubungkan dengan ketekunan dan kerja keras.
·
Terakhir ada Moppang, motif lipa sabbe tertua
yang hampir punah. Dulunya sarung bugis bercorak ini hanya digunakan oleh
pasangan suami istri, terutama saat atau setelah berhubungan. Sangat tabu untuk
dikenakan di luar kamar oleh pria maupun wanita bugis.
Selain motif yang kaya makna, warna-warna lipa sabbe
juga memiliki arti tersendiri, lho. Makna warna tersebut seringkali berkaitan
dengan status sosial pemakainya.
Seperti halnya, warna merah atau hijau yang biasa
dipakai oleh kaum ningrat atau bangsawan. Merah sebagai simbol keberanian dan
kekuasaan, hijau menjadi lambang kemakmuran dan kehidupan. Sarung berwarna
lembut seperti pink atau kuning muda melambangkan kepolosan dan keceriaan masa
muda sehingga kerap dipakai oleh gadis remaja.
Sedangkan warna hitam khusus dipergunakan bagi wanita
yang sudah menikah, melambangkan ketenangan, kedewasaan, dan kehormatan.
Sedangkan warna putih melambangkan kesucian dan kebijaksanaan, sering dipakai
oleh pengasuh atau orang penting di lingkungan kerajaan.
Kalau kamu penasaran dengan proses pembuatan sarung
ini, detanglah ke pusat produksi lipa sabbe yang ada di Kota Sengkang,
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Selain dikenal sebagai sentra penghasil kain
sutra tradisional, Kota sengkang juga menjadi rumah produks Lipa' Sabbe yang
masih dilakukan secara konvensional.
Proses pembuatan lipa’ sabbe mulai dari budidaya ulat
sutra, berlanjut ke pengolahan benang, dan penenunan kain. Salah satu alasan
yang membuat sarung sabbe begitu istimewa adalah kenyataan bahwa kain ini
dibuat oleh tangan terampil para pengrajin lokal yang keahliannya diwariskan
secara turun-temurun.
Mayoritas pengrajin di sana menenun kain sutra di
rumah-rumah mereka menggunakan alat tenun tradisional. Lalu kainnya dijual ke
pasar lokal, beberapa orang juga memesan untuk acara-acara khusus.
Pemakaian Lipa Sabbe bagi kaum pria dalam tradisi
Bugis disebut dengan ma’bida, dimana sarung dipakai lalu bagian pinggang
dililitkan dan ujungnya diikat (dirippung). Kemudian dikenakan tali benang
sebagai ikat pinggang atau sabuk yang biasanya juga menjadi tempat menyelipkan
keris.
Sementara wanita penggunaan Lipa Sabbe untuk wanita dilakukan
dengan mengikatnya tepat di bagian pinggang dan sisanya dibiarkan terurai.
Bagian sarung yang terurai dihamparkan di atas lengan kiri sambil dirapatkan di
pinggang (dikikking) agar tidak jatuh.
Tahun 2016 menjadi awal sejarah
baru kain tenun Lipa Sabbe setelah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda
oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut dilakukan bukan
semata-mata karena pesona serta keindahan kainnya, tetapi juga langkah untuk
melestarikan budaya tanah Bugis.
Itu dia sejarah, ragam motif
serta makna filosofis sarung lipa sabbe khas Sulawesi Selatan. Keindahan motif,
warna, serta kerumitan proses pembuatan yang rumit membuat Lipa' Sabbe patut
dibanggakan dan dilestarikan.