Ketatnya kompetisi pasar global
membuat sektor industri TPT Tanah Air tertekan akibat gelontoran impor produk
tekstil, terutama dari Tiongkok. Hal tersebut sangat memaksa kinerja industri tekstil.
Pemerintah pun memberi perhatian serius karena sektor ini sangat padat karya dan
mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Di tengah risiko stagnasi ekonomi dan tingkat inflasi global belum kembali ke level prapandemi, perekonomian Indonesia tetap resilien dengan pertumbuhan 5,05% (yoy) pada Triwulan II 2024.
Sumber: https://kliklegal.com/
Pertumbuhan ekonomi bergerak ke
arah positif dan menopang peningkatan jumlah pekerja hingga menyentuh angka 11,1
juta orang dalam tiga tahun terakhir. Dan berdampak pada penurunan angka
pengangguran dari 6,26% (2021) menjadi 4,82% (2024) dimana serapan tenaga kerja
didominasi sektor pertanian, perdagangan serta industri pengolahan.
Meski demikian, perkembangan
subsektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) masih jauh dari level prapandemi karena
menurunnya permintaan pasar domestik maupun ekspor. Tantangan semakin
kompetitifnya industri ini berdampak terhadap serapan tenaga kerja industri TPT
dari 3,98 juta (2023) menjadi 3,87 juta pada 2024.
Pemerintah terus memantau situasi
sembari memberikan dukungan dan solusi guna mendorong pemulihan kinerja
fundamental industri TPT dalam jangka panjang. Instansi pemerintahan juga konsisten
mendudukkan upaya solutif tersebut dengan tetap mempertimbangkan dampak
terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Dalam upaya mendukung daya saing
sektor industri tekstil nasional, Pemerintah telah menerbitkan beberapa
kebijakan trade remedies. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Dilansir dari CNBC Indonesia, berikut beberapa langkah trade remedies yang diambil pemerintah RI:
(i)
PMK Nomor 176/PMK.010/2022 tentang pengenaan
BMAD (Bea Masuk AntiDumping) atas impor produk Serat Pakaian (Polyester Staple Fiber) yang berlaku
selama 5 tahun, hingga Desember 2027;
(ii)
PMK Nomor 46/PMK.101/2023 tentang pengenaan BMTP
(Bea Masuk Tindakan Pengamanan) atas impor produk Benang dari Serat Stapel
Sintetik dan Artifisial yang berlaku selama 3 tahun, hingga Mei 2026;
(iii)
PMK Nomor 45/PMK.010/2023 tentang pengenaan BMTP
atas impor tirai, kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya
yang berlaku selama 3 tahun, hingga Mei 2026
(iv)
PMK Nomor 142/PMK.010/2021 tentang pengenaan
BMTP atas impor produk Pakaian dan Aksesori pakaian yang berlaku selama 3 tahun,
hingga November 2024.
Disamping itu, sebagai upaya
perlindungan dan peningkatan daya saing industri tekstil dalam negeri,
Pemerintah melanjutkan kebijakan pengenaan BMTP terhadap impor produk Kain,
Karpet, dan Tekstil Penutup Lainnya selama 3 tahun. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea
Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Kain dan PMK Nomor 49 Tahun
2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk
karpet dan tekstil penutup lain.
Penerbitan kebijakan tersebut
dilakukan dengan memperhatikan keselarasan rantai industri agar sesuai dengan
arah pengembangan industri nasional serta menjaga daya saing industri tekstil
di dalam negeri.
Kemenkeu mengklaim bahwa
penyusunan dua PMK telah melibatkan seluruh pemangku kepentingan yaitu
Kementerian/Lembaga terkait. Termasuk diantaranya yaitu Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Asosiasi dan Pelaku Usaha, serta Perwakilan Negara Mitra Dagang.
Hal tersebut sesuai ketentuan domestik yang sejalan dengan pengaturan trade remedies pada World Trade Organization (WTO).
Melalui sinergi kebijakan
Pemerintah serta peran aktif para pemangku kepentingan, harapannya industri
tekstil nasional menjadi lebih tangguh dan berdaya saing. Sehingga lapangan
kerja bisa kembali terbuka dan memberikan kontribusi yang positif bagi
perekonomian nasional.