BULETIN TEKSTIL.COM
/ BANDUNG – Memasuki Kecamatan Majalaya di Kabupaten
Bandung, sebatas mata memandang hanya menyapu tembok pabrik-pabrik kusam
berlumut, bekas endapan lumpur banjir. Udara kotor berdebu menyelimuti
jalan-jalan sempit yang banyak bolongnya. Semrawut lalu lalang dokar menggantikan
geliat kawasan yang pernah menyandang julukan “Kota Dollar” karena kiprah
tekstil rakyatnya itu.
Julukan kota
Paris Van Java memang tak bisa lepas dari sejarahnya tentang dunia fesyen.
Begitu mudahnya mengenal kain tenun tradisional Ulos, tenun Lurik, tenun Ikat,
dan tenun Toraja. Semua punya motif dan warna khasnya masing-masing. Namun
sebaliknya, jarang orang mengetahui kain tenun Majalaya asal
Kecamatan Majalaya, Bandung, Jawa Barat. Sama seperti tenun tradisional
lainnya, tenun Majalaya dibuat secara manual, dan dikategorikan sebagai Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Kala itu
Majalaya mampu menguasai 40 persen kebutuhan tekstil nasional. Sedikitnya 1
juta meter kain dipesan kepada pengrajin tenun Majalaya. Baik itu dalam bentuk
sarung, maupun lembaran kain diproduksi secara manual dengan tenun tradisional.
Kini semua tinggal kenangan manis. Merebaknya produk fesyen impor China membuat berbagai industri tekstil di Indonesia kelabakan. Dampaknya sangat terasa bagi para pengrajin tenun Majalaya.
Sumber: buletintekstil.com
Kisah kejayaan
industri tekstil pada tahun 1960-an saat Majalaya dijuluki Kota Dollar. Untuk
memenuhi bahan baku tenun maupun keperluan sehari-hari saat itu sangat mudah.
Warga tinggal keluar rumah. Sudah banyak penjual mengantre layaknya semut
merubungi ceceran gula. Tak dimungkiri, Majalaya adalah cikal bakal industri
tekstil modern di Indonesia. Walau perkembangannya baru terasa tahun 1930-an
dipelopori beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata dan
Abdulgani, namun geliatnya sebenarnya telah dimulai sejak 1910.
Saat itu,
sudah ada perempuan-perempuan yang menekuni alat tenun kentreung atau banyak
disebut gedhogan dengan bahan baku kapas dan bahan pewarna dari kebun. Namun,
skalanya masih sangat terbatas, dan haya untuk konsumsi rumah tangga saja. Pada
1921, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Textile Inrichting Bandeng atau
kelak bernama Sekolah Tinggi Tekstil Bandung. Pada 1928, empat gadis asal
Majalaya, Emas Mariam, Endah Suhaenda, Oya Rohana, dan Cicih dikirim ke Bandung
untuk belajar tenun menggunakan alat tenun semi otomatis yang tidak membutuhkan
listrik disebut alat tenun bukan mesin (ATBM). Emas, Endah, dan Oya-lah yang
kelak mewariskan teknik tenun dan membangun dinasti-dinasti usaha tekstil
rakyat Majalaya.
Pascakemerdekaan, Majalaya disiapkan Pemerintah Indonesia menjadi pusat tekstil nasional guna memenuhi kebutuhan sandang, yang kala itu masih ditopang impor. Matsuo H (The Development of Javaneses Cotton Industry, 1970) menuliskan, industri tenun Majalaya mencapai puncak kejayaan pada awal 1960-an. Saat itu, mereka memproduksi 40 persen dari total produksi kain di Indonesia. Akhir 1964, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jabar. Hampir seluruhnya berada di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi tiga desa: Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti). Deden menuturkan, pada zaman kejayaannya, menjadi pekerja di pabrik tenun merupakan pekerjaan paling popular di mata remaja setempat, bahkan ketimbang sektor pertanian. Sebab, penghasilan di industri tenun lebih tetap dan tidak bergantung musim. Bahkan, hingga 1970-an, sarung Majalaya begitu diminati, termasuk para pejabat seantero negeri. Terseok-seok Gegap gempita tekstil rakyat mulai meredup ketika sekitar tahun 1980-an, dengan kekuatan finansialnya, pemodal-pemodal non-lokal Majalaya mulai marak mendirikan pabrik di kawasan tersebut.
Sumber: buletintekstil.com
Ketidakmampuan
industri tekstil lokal merestrukturisasi mesin-mesin tua ke mesin modern yang
lebih efisien menurunkan daya saing. Perlahan, industri tekstil rakyat
tersisih. Deden mencontohkan, orangtuanya, H Kamal Sabari, termasuk generasi
pertama yang memiliki alat tenun mesin pada 1956. Kini, mesin-mesin berumur 55
tahun warisan ayahnya masih diandalkan Deden dan kebanyakan pengusaha tekstil
rakyat lain. Padahal, tingkat efisiensinya sangat rendah. Tokoh pengusaha
tekstil Majalaya Satja Natapura menyebutkan, saat krisis ekonomi mengguncang
Indonesia pada 1998, hampir separuh usaha tekstil di Majalaya kolaps. Jika
sebelumnya jumlah industri rakyat masih sekitar 250, setelah krisis menyusut
jadi 130 pabrik. Bahkan, ia memperkirakan saat ini industri tekstil rakyat yang
masih tersisa tak lebih dari 100 usaha.
Kini, mereka
yang tersisa hanya bertahan dengan ceruk pasar yang kian menyempit. Salah
satunya mendompleng pasar sarung yang sudah punya nama. Tak heran ketika
Lebaran tiba, banyak dijumpai merek-merek sarung seperti “Gajah Duku”, “Altas”,
atau “Manggis”. Dalam skala terbatas, tekstil rakyat juga masih dipesan untuk
membuat pakaian perlengkapan tentara, polisi dan pakaian sekolah. Meski
demikian, Deden, Satja, dan sejumlah pewaris mesin tenun di Majalaya lain masih
berupaya bertahan di tengah gempuran kapitalisasi industri yang kian liberal.
Sempat bangkit, mereka tergopoh-gopoh lagi diterpa badai krisis ekonomi dan
dihajar mekanisme perdagangan bebas. Berkali-kali sempoyongan mengikuti langgam
zaman hampir seabad lamanya, Majalaya terus berusaha mempertahankan sejarah.
Kondisinya
diperparah dengan adanya Pandemi yang menjadikan geliat produksi tenun Majalaya
seperti mati suri. Usaha tekstil yang sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Majalaya tidak lagi berdenyut. Bagi pemilik usaha mereka merasakan
berada di jurang kebangkrutan. Begitupula para pekerja yang mengeluhkan upah
mereka.
Tak ada
pilihan lain, dapur produksi masih terus menyala. Meskipun banyak para
pengusaha masih menyimpan stok kain tenun yang menumpuk. Imbas persaingan
membuat tenun Majalaya tak mudah lagi diserap pasar. Kompetisi dengan pasar
digital dengan harga dan kualitas yang lebih menggiurkan.
Bagai memulai
hidup baru, Tenun Majalaya mulai bangkit dan menyesuaikan pasar saat ini.
Pangsa pasarnya juga sudah mengikuti tantangan dunia digital. Dengan
mengedepankan tenun tradisional yang tentu punya jati diri tersendiri.
Inovasi dan
variasi turut dikembangkan untuk mendukung daya jual tenun Majalaya. Tak hanya
kain saja, pakaian jadi sedang digagas pasarnya. Produk tenun Majalaya juga
terus dikebut untuk merambah ke pasar ekspor. Semua upaya tersebut tidak lain
untuk menjadikan Majalaya sebagai sentra tekstil nasional seperti dahulu kala.
ATBM menjadi bukti budaya tenun tradisional Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Bersanding dengan eksistensi mesin tekstil yang merenggut ketenaran kain tenun tradisional. Sama halnya dengan tenun Majalaya saat ini yang masih mempertahankan metode tradisional, meskipun perkembangannya mulai marak digantikan oleh mesin.
Sumber Berita: buletintekstil.com