Keunikan dan keberagaman budaya
nusantara memang selalu menarik untuk diulas. Salah satunya yaitu keberagaman
busana tradisional Sulawesi Utara yang diwariskan secara turun temurun. Pakaian
adat provinsi Sulawesi bagian Utara menjadi bentuk nyata kekayaan serta
kelestarian budaya Indonesia.
Provinsi yang beribukota di Manado ini memiliki beberapa suku bangsa yang hidup harmonis dan saling berdampingan. Sebut saja suku Minahasa, Sangir,
Mongondow, Rantahan, dan Tonsea. Tiap etnis pun mempunyai keunikan budaya yang
tertuang dalam bentuk busana adat. Apa sajakah itu? Simak ulasannya, yuk!
Baju karai dan wuyang adalah pakaian adat masyarakat Sulawesi Utara khususnya dari suku Minahasa.
Baju karai dipakai oleh laki-laki, berupa kemeja panjang
berwarna hitam yang terbuat dari ijuk. Konon, desain baju ini mendapat pengaruh
budaya Spanyol saat masa penjajahan. Pria Minahasa juga biasa memakai kemeja
lengan panjang dilengkapi kerah dan saku yang disebut baju baniang.
Sedangkan wuyang diperuntukkan bagi perempuan.
Bentuknya mirip kebaya tapi dibuat dari bahan kulit kayu. Biasanya dikenakan bersama
pasalongan rinegetan yang mirip blouse atau dress.
Etnis sangihe talaud mempunyai pakaian adat Laku Tepu
yang berupa baju lengan panjang dengan detail untaian. Busana ini bisa dipakai
oleh pria maupun wanita. Digunakan bersama kahiwu (rok berumbai), popehe (ikat
pinggang), bandang (selendang), dan paporong (penutup kepala).
Zaman dulu, laku tepu dibuat menggunakan serat kofo dari
tanaman pisang yang ditenun lalu dijahit. Umumnya berwarna cerah mencolok dan
mencerminkan kelas sosial, kuning untuk tetua adat sedangkan hijau untuk istri
pejabat.
Baju Tonaas dan Walian Wangko biasanya hanya dikenakan oleh para pemuka adat.
Tonaas wangko berupa kemeja lengan panjang dengan kerah tinggi, berkancing tapi tidak memiliki saku. Bagian dada terdapat aksen hias bermotif padi yang menjuntai dari leher hingga ujung depan.
Baju adat Tonaas Wangko kebanyakan berwarna hitam dan corak
berwarna emas. Dipakai bersama topi merah yang juga bermotif kuning.
Tonaas wangko untuk perempuan berupa kebaya panjang warna
putih atau ungu. Dipakai bersama sarung batik berwarna hitam, selempang dan
topi mahkota. Sedangkan Walian Wangko merupakan baju panjang mirip jubah
atau gamis warna putih behiaskan corak bunga padi.
Pengantin perempuan dalam adat Minahasa menggunakan
kebaya berdesain unik dan aksen ruffle di ujung bawah. Terdiri dari kebaya putih
dan kain sarong berwarna serupa yang diberi detail sulaman motif sisik ikan. Siluet
baju ini terlihat pas dari bagian atas hingga batas lutut lalu menggembung mirip
ikan duyung. Dari situlah asal muasal sebutan ‘baju ikan duyung’.
Selain motif sisik ikan, ada juga sarong motif sarang
burung yang disebut salim burung, motif kaki seribu dan sarong laborci-laborci
yang bermotif bunga.
Disisi lain, pengantin pria memakai jas tertutup atau
terbuka, celana panjang, ikat pinggang berupa selendan dan topi porong. Jas berdesain
tertutup baju tatutu, berupa baju lengan panjang yang tidak memiliki kerah atau
saku. Terdapat corak bunga padi di bagian pinggiran topi, leher baju, selendang
dan lengan baju.
Busana tradisional Minahasa bajang kerap digunakan
saat menghadiri pesta adat atau acara-acara resmi. Pria memakai kemeja, bawahan
sarung, selendang di pinggang dan topi berbentuk segitiga. Sementara kaum perempuan
mengenakan kebaya dan kain yapon berwarna senada sebagai bawahan.
Keduanya merupakan sepasang busana adat dari suku
Gorontalo. Perempuan mengenakan baju Biliu yaitu berupa kebaya warna hijau atau
kuning tanpa motif dipadukan dengan sarung. Ia juga memakai aksesoris berwujud perhiasan
seperti gelang, kalung, serta ikat kepala Baya Lo Boute.
Sedangkan baju makuta berupa baju lengan panjang untuk
pria dan dipadukan dengan tudung Makuta. Pakaian ini digunakan saat upacara
pernikahan berlangsung.
Busana adat khas Suku Mongondow dibuat dari kulit kayu
atau pelepah nanas yang disebut lanut. Serat lanut ditenun hingga menjadi kain
dan dijahit. Untuk wanita berbentuk kebaya dan kain. Sedangkan untuk laki-laki,
ada baju baniang yang dikenakan bersama celana dan sarung.
Awalnya, kohongian merupakan jenis busana adat yang disakralkan
dan tidak sembarangn orang bisa memakainya. Pakaian ini hanya boleh digunakan
oleh kaum bangsawan dan satu tingkat di bawahnya pada acara pernikahan. Namun
saat ini, Kohongian bebas dipakai oleh siapa saja tanpa memandang status sosial
mereka.
Itu dia jenis pakaian adat
Sulawesi Utara serta masing-masing ciri khasnya. Unik dan menarik, bukan? Semoga
bermanfaat ya!