Isi lemari sudah penuh tapi kamu
tetap merasa nggga punya baju? Rasa-rasanya hampir semua orang, terutama kaum
wanita pernah terpikirkan tentang hal ini. Bukan lagi persoalan baru ketika
seseorang membeli pakaian baru hanya
karena bosan melihat baju-baju yang ada di lemari.
Dengan alasan “baju ini sudah
pernah foto pakai baju, pernah dipakai waktu kesini, dll,” budaya konsumtif pun
terbentuk dan menyebabkan berbagai permasalahan. Mulai dari penumpukan sampah, kerusakan
lingkungan, risiko kesehatan hingga pemanasan global akibat limbah dari
industri fashion.
Coba deh, hitung berapa banyak
baju yang udah kamu CO sepanjang tahun ini. Satu, atau malah lebih dari lima?
Lalu, berapa dari baju itu yang sering kamu gunakan? Bisa jadi kamu tidak
begitu membutuhkannya, tapi tetap membeli hanya karena diskon, promo atau sekedar
dorongan emosional (impulsive buying).
Pola pikir ini sangat berbahaya
lho. Apalagi kalau kamu sampai kehabisan dana darurat dan membuat kebutuhan
penting yang lain terabaikan. Jadi, pertimbangkanlah dengan tenang dan pikirkan
kembali sebelum checkout. Salah satunya dengan berpedoman pada teori kebutuhan “Buyerarchy
of needs” yang dicetuskan oleh Sarah Lazarovic.
Lantas, apa itu Buyerarchy of
needs? Berikut ulasan lengkapnya!
“Apakah saya benar-benar membutuhkannya?" adalah inti dari konsep "Buyerarchy of Needs" atau hierarki kebutuhan
pembeli. Diciptakan oleh professional
marketing, Sarah Lazarovic, teori ini hadir sebagai panduan untuk berpikir
lebih bijak sebelum membeli sesuatu.
Jika piramida Kebutuhan Maslow membahas motivasi dasar manusia. The Buyerarchy
of Needs membentuk sebuah piramida terbalik yang menantang kebiasaan belanja dan
menempatkan opsi "membeli" sebagai pilihan terakhir. Piramida ini memiliki tingkatan-tingkatan
hal yang perlu dipertimbangkan sebelum akhirnya membeli pakaian atau barang
lain.
Tingkatan
pertama adalah tentang mengoptimalkan pakaian dan sumber daya yang sudah ada. Punya
baju lama yang bisa di ulang? Atau celana yang bisa dipotong jadi celana pendek?
Sebelum melangkah ke toko atau membuka aplikasi belanja, coba lihat kembali isi
lemarimu.
Memakai apa yang sudah kita miliki bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga tentang kreativitas. Alih-alih membuangnya, cobalah temukan kombinasi baru dari pakaian lama, berikan sentuhan yang personal, atau perbaikilah sedikit apa yang rusak. Ini adalah step paling fundamental menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Baca Juga: |
Level kedua
menawarkan solusi praktis dari sekedar berbelanja kebutuhan kondisional. Perlu
gaun pesta sekali pakai atau gadget untuk proyek singkat? Coba tanyakan pada
teman, keluarga, atau tetangga. Meminjam adalah cara cerdas untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek tanpa harus menambah kepemilikan. Ini juga dapat memperkuat
hubungan sosial interpersonal serta membangun kepercayaan.
Selain
meminjam, ada juga opsi tukar (swap). Kamu bisa berpartisipasi dalam acara
tukar pakaian atau buatlah acara serupa bersama teman dekat atau saudara. Dengan
begitu kamu bisa menyegarkan isi lemari atau bahkan menemukan "harta
karun" baru tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Kalau sudah
benar-benar “mentok”, tidak bisa menemukan apa yang kamu butuhkan di lemari
sendiri atau pinjaman, maka pertimbangkan membeli barang bekas. Aktivitas
thrifting atau berburu di toko loak kini menjadi tren populer dan salah satu
cara paling efektif untuk mengurangi limbah tekstil.
Membeli barang
bekas berarti kamu telah memperpanjang siklus hidup sebuah produk. Pakaian,
buku, atau bahkan furnitur yang masih layak, tidak akan menjadi tumpukan
sampah. Kamu juga berkesempatan menemukan barang-barang unik dengan harga jauh
lebih terjangkau.
Punya bakat
menjahit, merajut, atau mendesain? Tingkatan ini mengajak kita untuk kembali ke
akar kreativitas. Membuat baju sendiri adalah tindakan anti-konsumerisme yang
paling kuat. Memastikan kamu mendapatkan produk yang benar-benar sesuai keinginan
serta memberi kepuasan tersendiri.
Mulai dari
memperbaiki robekan (rework),
mengubah fungsi pakaian (refashion),
hingga menciptakan item baru dari nol. Kamu tidak hanya menghasilkan produk
unik, tetapi juga menginvestasikan waktu dan keterampilan menjadikan sesuatu
yang lebih berharga.
Setelah
melewati keempat tingkatan di atas, barulah kita sampai pada puncak piramida
yaitu membeli. Ini seharusnya menjadi opsi terakhir, ketika alternatif-alternatif
di atas tak memungkinkan.
Kalaupun terpaksa
harus membeli, maka pilihlah dengan bijak. Dukung merek lokal yang etis dan
berkelanjutan. Pilihlah produk berkualitas baik dan perhatikan detailnya secara
matang agar bisa mendukung penggunaan dalam jangka waktu yang lama. Pikirkan
matang-matang, "Apakah ini sesuatu yang akan kamu pakai berkali-kali?"
dan hindari pembelian impulsif.
Itu dia 5 tingkatan yang terdapat pada piramida buyerarchy of need. Lebih dari sekedar menghemat uang, konsep
buyerarchy berkaitan erat dengan perubahan pola pikir manusia. Ini merupakan
sebuah ajakan untuk menjadi konsumen yang lebih sadar, bertanggung jawab, dan
menghargai nilai dari setiap barang.
Implementasi teori ini tak hanya memberikan dampak positif bagi diri
sendiri dan dompet, tetapi juga lingkungan yang lebih berkelanjutan.